Legislator Minta Dugaan Bullying PPDS Undip Diusut: Pecat Pelaku Jika Terbukti
Jakarta –
Anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina meminta kasus dugaan bullying mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro diusut tuntas. Ia menilai kasus bullying dalam pendidikan tak boleh dibiarkan.
“Tindakan bullying adalah peristiwa yang sangat tragis dan menyedihkan. Jangan sampai ada pembiaran bullying di lingkungan pendidikan. Harus segera dihentikan dengan putus mata rantainya,” kaya Arzeti dalam keterangan tertulisnya, Senin (21/8/2024).
Arzeti mendukung langkah Kemenkes, apalagi masalah perundungan di lingkungan PPDS. Ia mendorong pemerintah untuk bekerja sama menyelidiki kasus tersebut.
“Penting bagi Pemerintah bekerjasama dengan pihak berwajib seperti kepolisian untuk mengambil langkah-langkah proaktif dalam mencegah bullying. Kita harus kuat untuk memberikan informasi agar pelaku betul-betul diberikan efek jera,” ucap Arzeti.
Politisi PKB ini mengatakan perlu ada penyelidikan menyeluruh di semua PPDS yang ada di Indonesia untuk mengetahui tentang budaya perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran spesialis.
“Ini untuk mengetahui, mana-mana saja PPDS yang kental dengan budaya perundungan. Mungkin tidak di semua program, tapi penyelidikan menyeluruh dapat memetakan masalah budaya bullying yang sudah sangat mengkhawatirkan ini,” tuturnya.
“Penyelidikan harus dilakukan secara menyeluruh ke semua jurusan PPDS agar upaya memutus rantai bullying bisa dilakukan dengan maksimal dan optimal. Pengawasan di setiap program juga harus dilakukan dengan maksimal,” sambung Arzeti.
Lebih lanjut, Legislator dari Dapil Jawa Timur I ini menekankan budaya bullying di lingkungan pendidikan harus dihapuskan apapun bentuknya. Baik verbal maupun non-verbal, Arzeti menyebut tindakan perundungan tidak dapat dibenarkan.
“Tradisi bullying harus disetop, tidak ada pembenaran dari aksi perundungan apapun alasannya. Ini tindakan tidak bermoral dan tidak manusiawi,” tegasnya.
Arzeti mengatakan perlu ada pemeriksaan mental kepada para dokter di lingkungan PPDS. Sebab dokter merupakan profesi yang berhubungan langsung dengan keselamatan orang.
“Para dokter ini bekerja dengan nyawa pasien sebagai taruhannya. Kalau ternyata suka melakukan bully, bagaimana kita bisa percayakan nasib dan keselamatan pasien karena artinya mereka punya mental sebagai pembully yang tidak baik,” ujar Arzeti.
“Bullying itu kan cara kuno atau lama yang biasanya dilakukan di sekolah. Ini kan sudah pada dewasa umurnya juga, harusnya sudah pada matang dari sisi mental tapi kok masih melakukan bullying. Apa tidak malu dengan profesi dokternya,” lanjutnya.
Arzeti mendukung Kemenkes yang memberikan ancaman sanksi tegas bagi pelaku bullying di PPDS. Ia mendorong pemecatan terhadap pelaku jika terbuktj bersalah.
“Memang harus ada hukuman atau sanksi tegas untuk pelaku bullying maupun yang melakukan pembiaran. Dan pecat jika memang terbukti bersalah. Kalau terus didiamkan, tidak akan selesai masalah tradisi bullying ini,” tutur Arzeti.
Arzeti berharap Pemerintah segera melakukan evaluasi internal mulai dari sistem pendidikan hingga mengetahui asal mula bullying itu terjadi. Karena dengan melakukan analisis dari hulu ke hilir, pemutusan rantai bullying bisa dilakukan secara optimal, karena masalah tersebut bisa memberikan dampak serius bagi kesehatan mental seseorang.
“Bullying, terutama di lingkungan profesional seperti pendidikan kedokteran, dapat memiliki dampak yang sangat serius pada kesehatan mental seseorang. Sehingga harus dihilangkan,” kata Arzeti.
Seperti diketahui, mahasiswi PPDS Kedokteran Undip ditemukan tewas di kamar kosnya di Lempongsari, Kota Semarang. Pihak kampus Undip melakukan investigasi internal dengan melakukan pemeriksaan sejumlah dokumen hingga CCTV yang ada
Berdasarkan hasil investigasi internal Undip menyatakan bahwa mahasiswi PPDS Prodi Anestesi yang ditemukan meninggal di dalam kamar kos bukan merupakan korban bullying. Rektor Undip, Suharnomo, menyebut investigasi itu dilakukan dengan memeriksa sejumlah pihak hingga mengecek CCTV.
“Kita tanya kan kaprodinya kemudian KSM-nya, kemudian dengan dekan, dengan KPS yang ada di sana, dia sampaikan tidak ada yang seperti itu. Jadi kita sudah sampaikan ke Irjen juga, Kemenkes dan Dikti riwayat beliau yang memang dari semester awal sudah banyak sakit yah dan banyak absensi, kemudian dari KPS juga sudah sangat bagus menggantikan yang bersangkutan kalau lagi sakit dan lain sebagainya,” katanya saat dilansirdetikJateng, Senin (19/8/2024).
Pihaknya juga telah menelusuri riwayat akademik korban selama menjadi peserta PPDS. Dari hasil itu, Undip menyimpulkan bukan perundungan yang menjadi latar belakang tewasnya mahasiswi tersebut.
“Dari Kaprodinya sudah bilang secara rinci tanggal-tanggal dia nggak masuk, berapa bulan dan sebagainya sudah ada semuanya, kapan beliau digantikan dan sebagainya,record-nya sangat jelas kan ada CCTV-nya dari smester satu,” tambahnya.
(eva/negara)