Produksi Melorot, Impor Tambah Bengkak
Jakarta –
Pemerintah memiliki pekerjaan rumah di sektor minyak dan gas bumi (migas). Sektor ini dihadapkan pada persoalan di mana produksi terus menurun dan impor terus meningkat.
Mengutip data Kementerian ESDM, Minggu (8/9/2024), lifting minyak terus menurun dari tahun 2015. Pada tahun 2015, realisasi lifting minyak tercatat 779 ribu barel per hari (bopd). Sempat naik menjadi 829 ribu bopd di 2016, tapi kemudian turun di 2017 menjadi 804 ribu bopd.
Setelah itu, lifting terus turun secara berurutan yakni 778 ribu bopd (2018), 746 ribu bopd (2019), 707 ribu bopd (2020), 660 ribu bopd (2021), 612 ribu bopd (2022), dan 605,4 ribu bopd (2023).
Kondisi serupa juga terjadi pada gas. Di tahun 2015 realisasi lifting gas 1,202 juta barel setara minyak per hari (boepd). Kemudian turun menjadi 1,180 juta boepd tahun 2016 dan sebanyak 1,142 juta boepd tahun 2017. Secara berurutan, realisasi lifting migas yakni 1,145 juta boepd (2018), 1,059 juta boepd (2019), 983 ribu boepd (2020), 995 ribu boepd (2021), 953 ribu boepd (2022), dan 960 ribu boepd (2023).
Adapun target lifting migas tahun 2024 sebesar 1,668 juta boepd yang terdiri dari lifting minyak 635 ribu bopd dan gas 1,033 juta boepd.
Dalam rapat kerja antara Komisi VII dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada 27 Agustus 2024 lalu disepakati, lifting migas tahun 2025 sebesar 1,610 juta boepd yang terdiri dari minyak 605 ribu bopd dan gas 1,005 juta boepd.
Dikutip dari laman Kementerian ESDM, Bahlil menyebut, impor minyak Indonesia lebih besar daripada produksi. Dia mengatakan, Indonesia mengimpor minyak 297 juta barel setahun yang terdiri dari 129 juta barel minyak mentah dan 168 juta barel dalam bentuk Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Jadi produksi minyak Indonesia itu 221 juta barel dalam setahun. Impor kita 297 juta barel, terdiri dari 129 juta barel dalam bentuk minyak mentah dan 168 juta barel dalam bentuk Bahan Bakar Minyak (BBM),” katanya.
Lebih lanjut, dia menerangkan, konsumsi BBM nasional tahun lalu mencapai sekitar 505 juta barel yang terbagi dalam beberapa sektor. Beberapa di antaranya adalah sektor transportasi yang mengonsumsi sebesar 248 juta barel atau 49%, disusul sektor industri sebesar 171 juta barel atau 34%, sektor ketenagalistrikan yang menyedot 38,5 juta barel atau 8%, serta sektor aviasi yang mengonsumsi BBM sebanyak 28,5 juta barel atau 6%.
Tak hanya minyak, Indonesia juga mengimpor LPG. Impor ini terus meningkat dari tahun ke tahun.
Masalah impor ini juga disorot Bahlil. Saat rapat dengan Komisi VII DPR, Bahlil mengungkap, konsumsi LPG dalam negeri mencapai 7 juta ton. Padahal, produksi dalam negeri hanya sekitar 1,8 juta ton.
Dengan kondisi tersebut, kebutuhan konsumsi LPG nasional sisanya dipenuhi dari impor. Bahlil pun menyayangkan hal tersebut.
“Gas kita LPG konsumsi kita sekarang kurang lebih 7 juta, dalam negeri hanya 1,8 juta produksi kita. Sisanya kita impor, kenapa negara ini gini terus. Apa nggak bisa kita bangun industri itu, atau sengaja ini dibiarkan untuk importir main terus,” katanya dalam rapat kerja pada 26 Agustus 2024.
Oleh karena itu, pihaknya akan mendorong hilirisasi. Dengan begitu, gas yang diproduksi bisa dimanfaatkan untuk dalam negeri.
“Ke depan, gas-gas yang muncul di tahun 2025-2026 yang c3-c4 kita akan membangun industri hilirisasi untuk membuat ketahanan energi kita. Agar LPG kita bisa kita bangun dalam negeri,” kata Bahlil.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, berikut besaran impor LPG dari 2013 hingga 2023:
- Tahun 2013: 3.299.808 ton
- Tahun 2014: 3.604.009 ton
- Tahun 2015: 4.237.499 ton
- Tahun 2016: 4.475.929 ton
- Tahun 2017: 5.461.934 ton
- Tahun 2018: 5.566.572 ton
- Tahun 2019: 5.714.693 ton
- Tahun 2020: 6.396.962 ton
- Tahun 2021: 6.336.354 ton
- Tahun 2022: 6.739.131 ton
- Tahun 2023: 6.950.651 ton
(acd/das)