Anggota DPR Dorong Pencarian Fakta di Kasus Bullying Siswa Binus Simprug




Jakarta

Kasus bullying di SMA Binus Simprug, Jakarta Selatan, memasuki babak baru ketika korban menemui Komisi III DPR RI untuk mencari keadilan. DPR mendorong aparat penegak hukum untuk mencari fakta sesungguhnya dalam kasus tersebut dengan transparan dan adil.

“Kami prihatin atas kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual yang dialami seorang siswa di SMA Binus Simprug. Kami berharap aparat penegak hukum melakukan investigasi menyeluruh dan menemukan fakta sesungguhnya karena banyak keterangan berbeda,” ujar anggota Komisi III DPR, Gilang Dhielafararez dalam keterangannya, Kamis (19/9/2024).

Korban dugaan perundungan RE (16) menemui Komisi III DPR RI untuk melakukan audiensi pada Selasa (17/9). Dalam audiensi tersebut korban mengaku mendapat menerima bullying hingga kekerasan fisik dari awal masuk sekolah pada November 2023 hingga mengakibatkan dirinya masuk ke rumah sakit.

IKLAN

GULIR UNTUK MELANJUTKAN DENGAN KONTEN

Dalam audiensi dengan Komisi III DPR, korban menyatakan juga mengalami kekerasan seksual. RE bahkan mengaku mendapat intimidasi dari para pelaku bullying, termasuk ancaman dari terduga pelaku yang mengaku sebagai anak ketua umum partai politik (parpol). Baik korban maupun pihak sekolah menggunakan pengacara ternama pada kasus ini.

Gilang yang turut hadir dalam audiensi kemarin pun meminta kepada penegak hukum untuk mengusut kasus tersebut secara transparan.

“Transparansi dan integritas penegak hukum dalam penanganan kasus ini menjadi harapan banyak pihak. Penegak hukum punya tanggung jawab moral apalagi masalah perundungan di SMA Binus Simprug sudah menjadi perhatian masyarakat,” sebut Legislator dari Dapil Jawa Tengah II itu.

Peringatan Gilang ini menyusul adanya perbedaan pengakuan dari pihak korban maupun pihak sekolah sehingga perlu ada penjelasan yang lebih meyakinkan dari hasil penyelidikan. Ia juga meminta pihak sekolah untuk bekerja sama demi kelancaran pengusutan kasus.

“Saya meminta agar sekolah berperan aktif dalam investigasi dan mendukung proses hukum, bukan menutupi fakta,” tegas Gilang.

Perbedaan keterangan didapat ketika Yayasan Binus School Simprug sebelumnya membantah adanya tindakan pengeroyokan dan menyebut bahwa kejadian tersebut merupakan kesepakatan antar siswa. Kendati demikian, Gilang tetap menekankan semua dugaan perundungan dan kekerasan dalam bentuk apapun harus diselidiki, terlepas dari klaim yang disampaikan pihak sekolah.

“Ini bukan hanya soal penjelasan sepihak, tetapi harus ada proses hukum yang transparan dan obyektif. Perundungan dan kekerasan, apalagi disertai pelecehan seksual, merupakan pelanggaran serius terhadap hak anak dan harus diselesaikan sesuai hukum yang berlaku,” ungkapnya.

Meski begitu, Gilang juga meminta pengusutan kasus tetap menerapkan peradilan anak mengingat baik korban maupun pelaku masih di bawah umur.

“Apabila aksi bullying ini terbukti, penanganan kasus tetap harus dilakukan sesuai ketentuan. Dan pastikan korban juga mendapat pendampingan psikologi dan kesehatan agar trauma yang dialaminya bisa membaik,” jelas Gilang.

Di sisi lain, Komisi III DPR mendesak pihak sekolah memberikan pertanggungjawaban dalam kasus dugaan pidana anak ini. Gilang menegaskan, pihak sekolah tidak bisa lepas tangan jika kekerasan terjadi di lingkungannya.

“Pihak sekolah harus mempertanggungjawabkan hal ini karena dugaan aksi bullying terjadi di bawah atapnya sendiri,” tukasnya.

Gilang menyebut pihak sekolah bertanggungjawab sebab tidak dapat memberikan pengawasan yang optimal terhadap para muridnya. Padahal, seharusnya sekolah menjadi tempat yang aman bagi siswa.

“Sekolah harus menjadi ruang aman bagi anak-anak kita untuk belajar dan berkembang, bukan sebaliknya. Jika benar perundungan dan pelecehan terjadi, sekolah harus bertanggung jawab. Jangan sampai ada yang ditutup-tutupi,” kata Gilang.

Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR itu juga menekankan pentingnya pihak sekolah memiliki mekanisme pengawasan dan pencegahan yang efektif terhadap segala bentuk kekerasan, termasuk perundungan dan pelecehan seksual. Menurut Gilang, penanganan perundungan harus melibatkan seluruh komponen sekolah, mulai dari guru, staf, hingga orang tua.

“Penting bagi semua lembaga pendidikan untuk membangun sistem pendukung yang memungkinkan siswa merasa aman untuk melaporkan segala bentuk kekerasan tanpa takut mendapat balasan,” ucapnya.

“Karena perundungan tidak hanya merugikan korban secara fisik, tetapi juga secara psikologis, yang dampaknya bisa berlanjut hingga dewasa,” sambung Gilang.

Gilang mengingatkan perihal Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 76C UU 35/2014 mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap anak, termasuk menempatkan, membiarkan, menyuruh, atau turut serta melakukan kekerasan.

“Undang-Undang Perlindungan Anak sudah sangat jelas melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk perundungan dan pelecehan seksual. Tidak ada ruang untuk kekerasan, terutama di lingkungan pendidikan, proses hukum harus terus berjalan,” urainya.

Apalagi, disampaikan Gilang, sudah ada Permendikbud No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP). Permendikbud ini juga mewajibkan dibuatnya Satuan Tugas (Satgas) untuk mengurus masalah bullying di sekolah.

“Kalau satgas antibullying ini dimaksimalkan oleh pihak sekolah, saya yakin masalah perundungan bisa diminimalisir. Dan tentu saja harus dengan dukungan pendidikan etika dan budi pekerti yang diperkuat bagi anak-anak,” jelas Gilang.

Komisi III DPR yang membidangi urusan penegakan hukum pun menyoroti tingginya masalah bullying di sekolah, termasuk tidak sedikitnya yang berakhir hingga ke kasus pidana. Sebelumnya, kasus perundungan di Binus School juga sudah pernah terjadi yakni pada bulan Maret lalu, tepatnya di Binus School Serpong yang melibatkan anak dari artis Vincent Rompies.

Aksi bullying dengan kekerasan tersebut melibatkan sejumah oknum murid kelas 12 dengan nama Geng Tai kepada murid kelas 10. Dalam kasus ini, terdapat 4 orang tersangka dan proses hukumnya hingga saat ini masih berjalan.

Gilang berharap, kasus-kasus bullying yang sampai pada pidana hukum dapat diproses seadil-adilnya, tanpa melupakan hak-hak bagi korban dan pelaku anak.

“Saya harap penegak hukum dapat memberikan keadilan bagi korban, dengan menghukum pelaku jika bersalah sesuai aturan. Dan stakeholder terkait harus memberikan bantuan serta pendampingan kepada korban agar mereka dapat pulih dari trauma yang mereka alami,” katanya.

“Selain penegakan hukum, aspek pemulihan juga harus menjadi prioritas. Termasuk konseling bagi pelaku agar tidak mengulangi aksi bullying atau hal buruk lainnya,” tutup Gilang.

(ncm/ea)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *