Hakim Sidang Harvey ke Eks Dirut PT Timah: Aneh-aneh Kerjaanmu




Jakarta

Jaksa menghadirkan terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan timah yang juga eks Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, sebagai saksi untuk terdakwa Harvey Moeis dkk. Hakim menyentil pekerjaan yang dilakukan Riza aneh-aneh.

Mulanya, hakim mendalami Riza terkait pelaksanaan instruksi 030 untuk meningkatkan produksi PT Timah. Riza mengatakan instruksi itu dilaksanakan dengan membeli bijih timah dari smelter swasta yang berbentuk CV maupun PT.

“Tadi kan Bapak ada instruksi 030 ya, upaya untuk memasukan bijih timah ke PT Timah?” Tanya hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (26/9/2024).

IKLAN

GULIR UNTUK MELANJUTKAN DENGAN KONTEN

“Iya Yang Mulia,” jawab Riza.

“Itu bagaimana caranya?” tanya hakim.

“Instruksi 030 kami mengambil landasan hukumnya adalah pengamanan obyek vital nasional karena PT Timah adalah bagian dari obvitnas (objek vital nasional),” jawab Riza.

“Bukan, bukan itu yang saya maksud. Artinya kita membeli langsung ke CV, CV untuk mengambil dari masyarakat, begitu kan? jangan muter-muter,” tegur hakim.

“Iya Yang Mulia benar. Jadi kami..,” jawab Riza yang dipotong oleh hakim.

“Udah sampai situ Pak,” timpal hakim.

Hakim mencecar Riza mengapa masyarakat tak mau menjual bijih timahnya ke PT Timah. Riza mengatakan pihaknya membeli bijih timah dari masyarakat dengan harga murah dan sistem pembayaran dilakukan secara transfer.

“Terus ada nggak kendala kenapa penambang-penambang itu tidak mau jual ke PT Timah?” tanya hakim.

“Ada beberapa faktor, satu, term pembayaran PT Timah itu selalau memakai sistem transfer karena kita awalnya..,” jawab Riza.

“Udah transfer, sistem transfer, gitu, agak lambat. Begitu ya. Jadi jangan berliku-liku. Terus yang kedua murah tidak?” cecar hakim.

“Kompensasi PT Timah lebih murah daripada..,” jawab Riza.

Hakim heran mengapa PT Timah memilih membeli bijih timah dari smelter swasta dengan harga yang lebih mahal. Hakim mengatakan harga bijih timah yang dibeli PT Timah dari smelter swasta empat kali lipat dari harga bijih timah masyarakat.

“Itu yang saya maksud, lebih murah. Kenapa kita beli di masyarakat murah? Terus kita kerja sama sama smelter kita berani bayar mahal? Nggak terbalik?” tanya hakim.

“Kompensasi itu dihitung dengan karena dalam menghitung kompensasi..,” timpal Riza.

“Ya nggak, itu kan kita beri kompensasi, kompensasi apapun namanya itu mengeluarkan duit. Istilah dibolak-balik tetap beli di lahan kita. Kan begitu. Nggak usah dihalus-haluskan, tetap. Itu kan bahasa tetap, kompensasi, apapun, ganti rugi, uang keluar dapat barang. Apa bedanya? Kalau dulu istilahnya barter, uang, ini kan sama aja itu artinya dibolak-balik aja katakan memperhalus. Nah itu maksud saya kenapa kita mau beli di masyarakat itu harga murah sehingga masyarakat tidak mau jual, ketika kita kerja sama dengan swasta kita berani bayar mahal. Jauh. Berapa kali ini Pak, empat kali lipat dari 1.000 ke 4.000. Gimana caranya?” cecar hakim.

“Izin menjelaskan Yang Mulia, yang tadi saya sampaikan, 1.000 itu tidak memperhatikan biaya lain-lain. Jadi dalam peleburan itu untuk mendapatkan 1 ton itu biaya HPP yang diajukan PT Timah sebenernya 2017 itu 6 ribu dolar Yang Mulia,” jawab Riza.

“Kita udah meriksa berapa saksi, semuanya mengatakan sama begitu. Kalau ditambah-tambahin juga bisa ngembang, bisa disebut 10 ribu juga bisa. Kita sudah meriksa bukan apa sendiri saksinya, yang langsung, artinya bagian peleburan timah itu. Kita kan bukan meriksa 1 orang di sini,” kata hakim.

Lalu, hakim mendalami Riza soal kadar peleburan bijih timah. Riza mengatakan PT Timah dan smelter swasta dapat melakukan peleburan dengan kadar kemurnian 99,9 persen.

“Terus yang saya tanyakan untuk mengekspor timah itu berapa kemurnian yang dibutuhkan?” tanya hakim.

“99,9 persen,” jawab Riza.

“Swasta smelter itu bisa menghasilkan 99,9 (persen)?” tanya hakim.

“Iya,” jawab Riza.

Hakim semakin heran lantaran peleburan yang diberikan ke PT Timah dari smelter swasta hanya 98 persen. Hakim mencecar Riza soal kerja dua kali yang dilakukan PT Timah yakni melakukan peleburan kembali setelah peleburan dari smelter swasta untuk memperoleh kadar 99,9 persen.

“Kenapa yang diberikan ke kita cuman 9,8 persen kita lebur kembali? Kan dua kali kerja,” kata hakim.

“Jadi gimi Yang Mulia, saya sampaikan tadi. Awalnya kami ingin menghemat biaya pemurnian, jadi pemurnian itu dilaksanakan di tempatnya PT Timah. Nah, karena jumlah volumenya yang banyak, terjadi bottle-necking akibatnya terhambat penyelesaian logam jadi supaya mempercepat proses, akhirnya kita..,” jawab Riza lalu dipotong hakim.

“Bukan di situ justru lebih lambat? kalau swasta smelter bisa menghasilkan 9,9 kenapa kita minta 98,25 kita murnikan lagi? Kenapa tidak langsung? Dua kali kerja. Biaya double, kan begitu. Tadi tujuannya untuk efisiensi, ternyata kan kerja dua kali jadi seperti diputer-puter. Kan begitu. Tadi biaya 1.000 kita butuh lagi, biaya sekitar 200 untuk memurnikan lagi,” sentil hakim.

“Awalnya seperti saya sampaikan tadi, biaya pemurnian itu awalnya akan ditanggung PT Timah sendiri karena kami punya alatnya tapi alatnya kapasitasnya terbatas dan pada saat itu waktu kita mau tambah impornya itu sangat lama sekali, terutama pada saat itu ada pandemi, sehingga antrean tunggu untuk barang yang masuk ke Indonesia lama. Makanya akhirnya kami serahkan lagi ke temen-temen smelter swasta dengan..,” jawab Riza.

Hakim mengatakan penjelasan Riza terkait alasan pembelian bijih timah ke smelter swasta dengan harga jauh lebih mahal dan proses peleburan dua kali hanya berliku-liku dan mengakibatkan kerja dobel. Hakim menyentil pekerjaan yang dilakukan Riza aneh-aneh.

“Ini terlalu berliku-liku, jadi diputer-puter aja itu barang. Karena jelas kita beli mau murah, sekali giliran ke tempat orang kita mesti mahal. Bisa menghasilkan 99 kita tarik 98,25 kita kerjakan lagi, itu kan dobel-dobel. Aneh-aneh kerjaanmu, itu kan termasuk aneh, muter-muter dia,” kata hakim.

Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

“Bahwa akibat perbuatan Terdakwa Suranto Wibowo bersama-sama Amir Syahbana, Rusbani alias Bani, Bambang Gatot Ariyono, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Emil Ermindra, Alwin Albar, Tamron alias Aon, Achmad Albani, Hasan Tjhie, Kwan Yung alias Buyung, Suwito Gunawan alias Awi, m.b. Gunawan, Robert Indarto, Hendry Lie, Fandy lingga, Rosalina, Suparta, Reza Andriansyah dan Harvey Moeis sebagaimana diuraikan tersebut di atas telah mengakibatkan kerugian Keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14,” ungkap jaksa saat membacakan dakwaan Harvey di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (24/8).

(mib/dnu)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *