Dukung Pembentukan Angkatan Siber, Bamsoet Singgung Perang Generasi Ke-5
Jakarta –
Ketua MPR RI ke-16 Bambang Soesatyo (Bamsoet) menghadiri diskusi Pembentukan Matra ke-4 Angkatan Siber, bersama Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) di Jakarta. Di acara tersebut, dia menekankan kondisi ketahanan keamanan siber Indonesia yang dianggap masih rentan. Hal ini terbukti dengan kasus peretasan data nasional.
Karena itu, menurutnya terdapat urgensi pembentukan lembaga yang fokus pada keamanan siber, termasuk peraturan hukum. Terlebih menurutnya ancaman siber telah menjadi bagian dari realitas ancaman pertahanan negara yang semakin nyata.
“Kita telah sama-sama mengetahui, dunia sudah memasuki era internet of military things/internet of battlefield things, di mana operasi militer semakin dapat dikendalikan dari jarak yang sangat jauh, dengan lebih cepat, tepat, dan akurat,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Sabtu (28/9/2024).
Data National Cyber Security Index (NCSI) tahun 2023 menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-48 dari 176 negara dunia untuk keamanan siber dengan skor 63,64. Skor tersebut masih berada di bawah skor rata-rata dunia yang mencapai 67,08 poin. Sementara di negara dengan keamanan siber terbaik di kelompok ASEAN, Indonesia masuk menduduki peringkat ke-5 setelah Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina.
“Jadi, sudah saatnya Indonesia segera mempersiapkan pembentukan matra ke-IV Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan menghadirkan Angkatan Siber. Kehadirannya untuk memperkuat tiga matra yang sudah ada, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Pembentukan TNI Angkatan Siber bisa dilihat sebagai bagian dari upaya untuk mencapai kemandirian pertahanan, mengurangi ketergantungan pada pihak asing, dan menghadapi ancaman yang semakin berkembang,” ujar Bamsoet.
Ketua DPR RI ke-20 ini menyebut ancaman siber terhadap sistem pertahanan negara sering dikaitkan dengan konsep Peperangan Generasi Kelima (5th Generation Warfare atau 5GW). Dalam skenario 5GW, kata dia, ancaman yang dihadapi tidak lagi hanya berwujud fisik, namun lebih abstrak dan berbasis informasi dengan fokus pada domain non fisik seperti dunia maya, psikologis, dan informasi. Ancaman tersebut lebih kepada pengendalian dan manipulasi informasi untuk menciptakan kebingungan dan mempengaruhi opini publik serta moral militer.
“Serangan siber dapat melumpuhkan infrastruktur vital militer, sistem komunikasi, dan jaringan komando, serta merusak sistem senjata yang mengandalkan teknologi digital. Serangan jenis ini jelas bisa mengganggu pertahanan nasional secara signifikan tanpa perlu adanya kontak fisik,” kata Bamsoet.
Apalagi, dengan melihat posisi Geopolitik Indonesia yang dinilai sangat rawan, lantaran berhadapan langsung dengan trisula negara persemakmuran Inggris: Malaysia, Singapura, dan Australia, yang tergabung dalam Five Power Defence Arrangement (FFDA) bersama Selandia Baru dan Britania Raya, dan di sisi lain, juga berada dalam arena pertarungan geopolitik Rusia, Tiongkok, dan Amerika.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menguraikan berbagai serangan siber telah terjadi di Indonesia. Termasuk ransomware server Pusat Data Nasional (PDN) yang berdampak pada data milik Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI yang diretas dan diperjualbelikan di dark web.
Sebelum kasus ransomware PDN, serangan siber pernah terjadi pada situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun 2018 serta kasus ransomware wannacry tahun 2018 yang melumpuhkan sistem komputer beberapa rumah sakit dan perusahaan besar di Jakarta.
Selain itu, kasus penyadapan komunikasi pribadi Presiden RI pada tahun 2013 oleh Australia, berdasarkan dokumen yang dibocorkan oleh Edward Snowden, mantan anggota National Security Agency Amerika Serikat.
“Gagasan pembentukan Angkatan Siber adalah langkah maju dalam menghadapi ancaman pertahanan masa depan yang lebih kompleks dan beragam. Pembentukan TNI Angkatan Siber merupakan langkah spesifik dalam ranah pertahanan yang lebih ofensif dan defensif, di bawah kontrol langsung TNI,” jelas Dosen Tetap pascasarjana Universitas Pertahanan RI (UNHAN) itu.
Untuk mewujudkan Angkatan Siber, Bamsoet melihat dibutuhkan perencanaan dan strategi yang matang. Selain itu juga diperlukan kolaborasi lintas sektor yang kuat, serta dukungan sumber daya yang memadai.
Pembentukan Angkatan Siber sebagai matra baru tentu akan menimbulkan konsekuensi anggaran yang tidak sedikit. Biaya pembangunan infrastruktur, rekrutmen, pelatihan, dan operasional akan membengkak secara signifikan.
“Sambil menyiapkan kemampuan sumberdaya untuk membangun angkatan siber sebagai matra keempat TNI, langkah bijak untuk saat ini adalah memperkuat satuan atau lembaga siber yang sudah ada dalam organisasi TNI. Seperti Pusat Pertahanan Siber (PUSSIBER) TNI dan unsur-unsur komunikasi dan elektronika (komlek) di setiap matra, serta meningkatkan sinergi dengan BSSN dan instansi terkait lainnya,” pungkas Bamsoet.
(ncm/ea)