Eks Pejabat Bongkar Modus Budi Said dalam Transaksi Emas Antam
Jakarta –
Sidang kasus dugaan korupsi rekayasa jual beli emas dengan terdakwa Budi Said kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Dalam sidang ini, mantan pejabat PT Antam, Nur Prahesti Waluyo alias Yuki, memberikan keterangan terkait alur transaksi pembelian emas yang dilakukan Budi Said yang menurutnya tidak sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) PT Antam Tbk.
Yuki yang pernah menjabat sebagai Trading Assistant Manager Unit Bisnis Pemurnian dan Pengolahan Logam Mulia (UBPP LM) Antam di Pulogadung, Jakarta Timur, memaparkan bahwa transaksi yang dilakukan Budi Said bisa menimbulkan ketidaksesuaian antara uang yang masuk dengan jumlah emas yang diserahkan.
“Uangnya (Budi Said) masuk dulu, penawaran Harga-nya tidak ada, reference tidak ada,” ungkap Yuki di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (8/10/2024).
Yuki menjelaskan, seharusnya dalam setiap transaksi pembelian emas di butik Antam, pembeli mengetahui harga emas harian dan referensi barang terlebih dahulu, kemudian menyetorkan uang sesuai harga yang tercantum. Namun, Budi Said melakukan transaksi dengan menyetorkan uang ke rekening Antam terlebih dahulu tanpa adanya penawaran harga harian (PH) atau referensi barang emas yang akan dibeli.
Selain itu, Yuki juga mengungkapkan pernah menawarkan kepada Budi Said untuk menjadi reseller emas Anta. Namun tawaran tersebut tidak ditindaklanjuti. Penawaran tersebut muncul setelah Budi Said meminta diskon dalam jumlah besar saat melakukan pembelian emas di Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 pada April 2018 sebesar 100 kilogram per minggu.
Dia menerangkan, diskon hanya dapat diberikan kepada reseller, sedangkan Budi Said bukan reseller. Diskon sebesar 0,6% dari harga dasar untuk jenis transaksi reseller pun hanya ada di UBPP LM Antam di Pulogadung selaku trading penjualan emas.
“Informasi dari butik Surabaya bahwa Pak Budi mau melakukan transaksinya di Surabaya saja, tidak mau di Jakarta (UBPP LM),” terang Yuki.
Hakim Anggota Alfis Setiawan kemudian mengungkapkan keheranannya atas sikap Budi Said yang menolak menjadi reseller. Padahal, jika Budi Said bersedia, dia bisa mendapatkan diskon 0,6%, yang mana dengan jumlah transaksi hingga 100 kilogram emas per minggu, angka tersebut sangat signifikan dalam konteks bisnis.
“Kalau bicara seorang businessman, angka diskon 0,6% untuk transaksi sebesar itu cukup besar,” ujar Hakim Alfis.
Penolakan tawaran menjadi reseller tersebut memperkuat dugaan adanya upaya Budi Said untuk memperoleh discount yang lebih besar secara tidak sah atas pembelian emas tersebut. Terlebih lagi dalam amar putusan Nomor 86/Pid.Sus-TPK/2023/PN Sby untuk terdakwa Eksi Anggraeni yang menjadi penghubung atau broker dalam kasus ini terungkap adanya keterlibatan Budi Said dalam memberikan suap dan gratifikasi kepada pegawai Antam terkait pembelian emas Antam.
Untuk memudahkan mendapatkan kerja sama dengan pihak Antam Butik Surabaya 01, Eksi memberikan sesuatu atas permintaan dari Budi Said kepada Endang Kumoro selaku Pimpinan Cabang Butik Surabaya 1 berupa satu unit mobil, uang tunai, serta biaya umrah.
Budi Said juga memerintahkan Eksi untuk memberikan satu unit mobil serta uang tunai kepada Karyawan Butik Surabaya 1 Misdianto dan juga uang tunai kepada Achmad Purwanto sebagai Admin pada Butik Surabaya 1.
Adapun dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung mendakwa Budi Said atas dugaan korupsi terkait pembelian emas PT Antam. Dalam dakwaan yang dibacakan pada persidangan perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta, Budi Said diduga terlibat dalam transaksi pembelian lebih dari 7 ton emas dari Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 antara Maret 2018 hingga Juni 2022.
Jaksa mengungkapkan, Budi Said melakukan transaksi pembelian emas dengan harga di bawah standar dan tidak sesuai prosedur Antam. Dia bekerja sama dengan broker Eksi Anggraeni serta beberapa oknum pegawai Antam, termasuk Endang Kumoro, Ahmad Purwanto, dan Misdianto.
Dalam dua transaksi utama, Budi Said pertama kali membeli 100 kilogram emas dengan harga Rp25.251.979.000, yang seharusnya hanya berlaku untuk 41,865 kilogram. Hal tersebut mengakibatkan selisih emas sebesar 58,135 kilogram yang belum dibayar. Sedangkan pada transaksi kedua, Budi Said membeli 7,071 ton emas seharga Rp3.593.672.055.000, tetapi hanya menerima 5.935 kilogram, meninggalkan selisih 1.136 kilogram.
Jaksa menyatakan, harga yang disepakati Budi Said sebesar Rp505.000.000 per kilogram itu jauh di bawah harga standar Antam. Akibatnya, negara mengalami kerugian total hingga Rp 1,1 triliun. Kerugian ini terdiri dari Rp92.257.257.820 dari pembelian pertama dan Rp 1.073.786.839.584 dari pembelian kedua.
Atas perbuatannya, Budi Said dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Budi Said juga terancam pidana sesuai dengan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
(prf/ega)