Kisah Aipda Ferry, Polisi Baduy Penjaga Budaya dan Pelestari Hutan Adat
Jakarta –
Aipda Ferry Alamsyah berjuang untuk menjaga adat dan budaya Baduy di Desa Kanekes, Lebak, Banten. Pria yang dikenal sebagai POLISI Baduy itu juga berupaya untuk melindungi hutan adat di sana agar tidak dirambah oleh masyarakat luar.
Aipda Ferry saat ini bertugas di Polsek Leuwidamar, Polres Lebak, Banten sebagai Ps Kanit Binmas. Karena keterbatasan anggota, Aipda Ferry lalu ditugaskan juga merangkap sebagai Bhabinkamtibmas di Desa Kanekes.
Untuk diketahui, Desa Kanekes merupakan salah satu desa adat di Banten yang terdiri dari 68 kampung dan terbagi ke dalam 3 kampung Baduy dalam dan 65 kampung Baduy luar. Desa yang mempunyai luas wilayah 5.212,41 hektare itu masih menjunjung tinggi budaya luhur mereka dengan berjalan kaki. Desa ini tidak dilalui oleh kendaraan bermesin, baik roda dua maupun roda empat, dan tidak masuk jaringan listrik.
Aipda Ferry menjelaskan keberadaannya di Desa Kanekes untuk menjaga adat dan budaya agar tetap terjaga dengan baik. Selain itu, dia juga tidak ingin ada hutan adat yang dirambah dan diserobot oleh masyarakat luar yang tidak memiliki hak di wilayah adat.
“Mendidik dan membiasakan masyarakat dan para pengunjung untuk selalu menjaga kebersihan terkait sampah,” kata Aipda Ferry yang diusulkan oleh Polda Banten dalam program Hoegeng Pojok 2024.
Aipda Ferry Alamsyah Bersama Warga Suku Baduy Foto: Dok Ist
|
Saat bertugas di Desa Kanekes, Aipda Ferry mengaku tidak bisa pulang ke rumah setiap hari. Dia harus rela pulang setiap dua minggu sekali karena wilayah Desa Kanekes yang tidak bisa dijangkau kendaraan.
“Setiap dua minggu sekali saya baru turun ke Polsek, laporan tentang keberadaan saya lalu saya izin pulang. Setelah dua atau tiga hari saya izin ke Polsek, dan langsung ke desa binaan saya. Jadi saya itu hanya 3 hari di rumah, dan memang saya tidak dilibatkan piket ataupun pengamanan lain,” kata Aipda Ferry.
Aipda Ferry mengatakan dirinya menjalankan tugasnya di Desa Kanekes sesuai aturan yang ada. Dia mengibaratkan dirinya sebagai penyeimbang.
“Artinya di mana ketika memang si pelaku tersebut orang adat dan korbannya orang adat, berada di daerah adat itu akan dibawa ke ranah hukum adat. Ketika ada permasalahan di luar antara peramasalahan orang adat dan orang luar, saya akan mendampingi. Contoh seperti kemarin, perbuatan cabul dengan anak di bawah umur yang terjadi di Tangerang, saya dampingi ke Tangerang,” imbuh dia.
Baduy Dalam dan Baduy Luar
Aipda Ferry menjelaskan perbedaan mengenai Baduy dalam dan Baduy luar di Desa Kanekes. Salah satu ciri khasnya yaitu terlihat dari cara mereka berpakaian.
“Kalau Baduy dalam dari segi pakaian, mereka menggunakan lomar atau ikat kepala warna putih, kalau tidak, hitam. Cuman dua warna hitam atau putih. Pakaian pun sama antara hitam dan putih. Dan mereka tidak menggunakan celana tapi menggunakan samping aros, dan mereka sama sekali tidak bisa menggunakan alat elektronik atau menolak modernisasi,” kata Aipda Ferry.
“Dan satu lagi Baduy dalam, mau kemana-mana, mau ke Bandung, mau ke Jakarta, mau ke manapun mereka tidak boleh naik kendaraan,” sambung Ferry.
Sedangkan untuk suku Baduy luar menggunakan ikat kepala telekung berwarna biru dan hitam. Mereka juga mengenakan kemeja campret dan sorban pendek.
“Karena di Baduy sendiri tidak boleh menggunakan celana panjang,” tutur Ferry.
Selain itu, kata Ferry, Baduy luar juga menolak modernisasi. Mereka masih boleh naik kendaraan tetapi tidak boleh mengendarai dan memiliki.
Aipda Ferry Alamsyah Bersama Warga Suku Baduy Foto: Dok Ist
|
Kedekatan Aipda Ferry dengan Warga Baduy
Selama dua tahun bertugas di Desa Kanekes, Aipda Ferry disebut sangat dekat dengan warga Baduy. Bahkan, dia diminta langsung oleh warga Baduy untuk menjadi Bhabinkamtibmas di Desa Kanekes.
“Saya dua kali dipertahankan di Baduy dengan tanda tangan Jaro Tangtu atau perwakilan tiga-tiganya, Puun dan lembaga adat meminta langsung kepada Pak Kapolres dan Kapolda untuk saya menjadi Bhabin di Desa Kanekes,” ujar Aipda Ferry.
Aipda Ferry menceritakan kedekatannya dengan warga Baduy karena dirinya menghilangkan ego saat berkomunikasi dengan mereka. Dia tak sungkan ikut makan bersama hingga tidur bareng warga Baduy.
“Jadi saya di sana untuk menghilangkan ego saya atau bahkan kebijakan saya, saya hilangkan, saya berbaur dengan mereka. Saya duduk di tanah bersama mereka, duduk di bambu bersama mereka, tidur dengan mereka, apa pun yang mereka makan, saya makan. , “katanya.
Begitu pula ketika ada bantuan masuk ke Baduy, Aipda Ferry diminta untuk ikut melihat langsung. Dia dilibatkan agar bantuan dari pemerintah tepat sasaran.
“Justru sekarang ini, saya menjadi mungkin yang dipercaya masyarakat adat untuk melihat langsung bahkan ikut ketika ada bantuan dari manapun untuk masyarakat adat, Baduy dalam dan Baduy luar, itu saya langsung ikut, saya dilibatkan,” ucap dia.
Istilah Polisi Baduy
Aipda Ferry juga menjelaskan mengenai awal mula dirinya disebut sebagai Polisi Baduy. Sebutan itu datang dari warga Baduy karena bentuk kedekatannya selama ini.
“Jadi sebenarnya karena memang Baduy dan masyarakat nyebutnya saya itu. ‘Ini polisi aing, polisi Baduy’, jadi masyarakat sendiri,” ujar Ferry.
Selain itu, sambung Ferry, masyarakat Baduy juga sebelumnya jarang tersentuh oleh polisi. Komunikasi polisi dan warga Baduy sebelumnya hanya sebatas saat kunjungan.
“Kita memang ingin bekerja, karena selama ini beberapa tahun ini jarang terjamah oleh polisi, kecuali memang kunjungan. Kalau nama ada, cuman orangnya tidak pernah tahu, masyarakat Baduy dalam itu tidak pernah tahu polisinya yang mana,” tutur dia.
(knv/aud)