Pengusaha Kritik Premanisme Masih Marak: Masa Pemerintah Kalah?
Jakarta, CNN Indonesia –
Pengusaha mengkritik keras aksi premanisme yang masih marak terjadi di industri.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel Suhardiman turut mempertanyakan kerja aparat penegak hukum (APH). Ia mendesak pemerintah bertindak tegas menghadapi premanisme, termasuk dari organisasi kemasyarakatan (ormas).
“Kami minta premanisme ini dihapus, premanisme di kawasan industri. Ini seharusnya pemerintah (tegas), masa kalah sama preman?” tegasnya dalam Diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) di Pomelotel, Jakarta Selatan, Kamis (17/4).
IKLAN
Gulir untuk melanjutkan konten
“Kalau (solusi) permasalahan ormas kami ndak bisa jawab, yang bisa jawab pemerintah sendiri. Poinnya adalah kenapa aparat bisa kalah sama ormas? Penegak hukum kenapa bisa kalah sama ormas? Masa pabrik harus pasang barikade di depan (gerbang)?” ucap Daniel.
Daniel mendorong pemerintah memikirkan cara efektif membasmi perilaku ormas, apalagi yang mengarah ke tindakan premanisme. Harus ada perlindungan hak-hak bagi para warga negara demi keberlangsungan industri di Tanah Air.
Ia menekankan setiap industri sebenarnya juga sudah memiliki serikat pekerja. Dengan begitu, apabila ada masalah muncul bisa diselesaikan secara bipartit tanpa harus melibatkan ormas tertentu.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ian Syarif ikut merespons soal menjamurnya tindakan premanisme yang mengganggu industri. Begitu pula dengan perilaku ormas.
Menurutnya, masalah ormas dan premanisme ini bisa diselesaikan bersama. Ian menyebut kuncinya adalah industrialisasi di tanah air harus benar-benar berjalan.
Ia mencontohkan ada masa ketika perusahaan tekstil kesulitan mencari buruh dengan standar gaji upah minimum regional (UMR). Pasalnya, ramai pembajakan karyawan antar-pabrik.
“Jadi, kita otomatis mesti bayar (gaji) di atas UMR, sekitar 15 persen. Itu masa-masa yang sangat indah untuk pekerja … Itu kondisi di mana orang gak mau jadi ormas. Bayangkan, kita sekarang dengan level edukasi di Indonesia rata-rata 8,5 tahun, otomatis yang bisa menerima (pekerja) itu adalah industri tekstil,” bebernya.
Namun, industri tekstil Indonesia saat ini baru menyerap sekitar 3,3 juta tenaga kerja di tengah ketegangan perang tarif yang dikobarkan AS. Ian menilai angka itu masih kecil, bahkan kalah dari Vietnam yang bisa mempekerjakan 9 juta orang di bidang serupa.
Ia mendorong pemerintah serius mengurus industri tekstil. Setidaknya ada potensi tambahan lowongan pekerjaan untuk 4 juta orang di tanah air, mengejar serapan tenaga kerja industri tekstil ke posisi 7 juta.
“Jadi, bakal hilang 4 juta orang yang tadinya mungkin bergabung dalam ormas. Masalah ormas itu hilang, teman-teman ini bisa pekerja, dan di industri pun kita kasih makan siang. Jadi, makan siang gratis pun programnya (Presiden Prabowo Subianto) ikut tersalurkan (untuk) 4 juta orang,” tutupnya.
Beberapa waktu lalu, Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Sanny Iskandar mengeluhkan aksi premanisme ormas. Aksi itu dianggap mengganggu keamanan, bahkan menghalangi aktivitas produksi di kawasan industri.
Beberapa pabrik di dalam kawasan industri bahkan disegel ormas. Dampaknya juga menyasar kontainer pabrik yang tak bisa keluar.
Ormas disebut melakukan demonstrasi untuk meminta ‘jatah’ dalam pembangunan atau aktivitas pabrik. Sejumlah investor telah melaporkan hal tersebut langsung kepada Presiden Prabowo.
Akan tetapi, sampai sekarang belum ada langkah konkret dan tegas dari pemerintah untuk membereskan ormas-ormas nakal tersebut.
(SKT/PTA)