Tarif Impor 145 Persen Trump ke China Bakal ‘Bunuh’ UMKM AS
Jakarta, CNN Indonesia –
Tarif impor 145 persen yang dikenakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap produk Cina berpotensi menghancurkan banyak bisnis kecil alias UMKM SEBAGAI.
Kenaikan tarif ini membuat biaya bahan baku melonjak drastis, sementara banyak pelaku UMKM tak memiliki pilihan lain karena bahan yang dibutuhkan tidak tersedia di dalam negeri.
Christina dan Ian Lacey, pasangan suami istri dari Denver, merupakan salah satu contoh pelaku UMKM yang terdampak.
IKLAN
Gulir untuk melanjutkan konten
Sejak 2017, mereka mendirikan Retuned Jewelry, bisnis perhiasan dari daur ulang senar gitar dan bass. Usaha ini mampu mencatat rata-rata penjualan tahunan sebesar US$360 ribu atau setara Rp6 miliar (asumsi kurs Rp16.828 per dolar AS), sebagian besar dari festival musik dan seni.
Namun, tarif impor baru mengancam keberlangsungan usaha mereka. Meskipun mereka menggunakan senar sumbangan sebagai bahan utama, material lain seperti manik-manik, rantai, kait, dan pengait harus diimpor dari China. Keduanya telah berusaha mencari pemasok lokal, tetapi produk serupa tidak tersedia di AS.
“Kami sudah mencari. Tidak ada fasilitas di sini yang memproduksi kebutuhan kami,” kata Ian, melansir Bisnis CNN, Sabtu (26/4).
Tekanan serupa juga dirasakan oleh The Mitchell Group, perusahaan tekstil keluarga yang dikelola generasi kedua di Niles, Illinois.
Menurut Ann Brunett, Chief Operating Officer Mitchell Group, tarif yang tinggi memperparah arus kas perusahaan. Mereka harus membayar tarif 45 persen ditambah bea masuk untuk produk yang sering kali harus disimpan di gudang hingga distributor membutuhkannya.
Dengan 18 karyawan penuh waktu dan 12 perwakilan penjualan, Mitchell Group membukukan pendapatan hampir US$10 juta atau Rp168,2 miliar per tahun.
Presiden perusahaan, Bill Fisch, menuturkan pihaknya telah mencoba mencari alternatif produksi di Vietnam, India, Malaysia, bahkan Eropa, tetapi tetap tidak menemukan infrastruktur sebanding dengan China.
“Kita butuh produksi kain berlapis dalam satu atap dan dengan standar ketat. Tidak bisa buat satu bagian di Vietnam, bagian lain di India, lalu merakitnya di Thailand. Itu tidak mungkin,” jelas Fisch.
John Arensmeyer, pendiri sekaligus CEO organisasi advokasi Small Business Majority, menilai UMKM seperti Retuned Jewelry lebih rentan terhadap dampak tarif tinggi. Dengan margin keuntungan yang lebih tipis dan daya tawar yang terbatas terhadap pemasok, banyak pebisnis kecil yang terpaksa menaikkan harga, mengurangi karyawan, menunda ekspansi, atau bahkan tutup.
“UMKM tidak memiliki cadangan kas yang cukup untuk menahan lonjakan harga yang tiba-tiba,” kata Arensmeyer.
Arensmeyer menambahkan harapan Trump bahwa tarif tinggi akan membangkitkan produksi domestik terlalu optimistis. Menurutnya, membangun kembali industri dalam negeri tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Senada dengan itu, Sheng Lu, profesor dari Departemen Fashion and Apparel Studies University of Delaware, menjelaskan industri tekstil dan garmen AS telah menurun selama beberapa dekade akibat globalisasi dan biaya produksi luar negeri yang lebih murah.
Fisch pun menegaskan banyak material kunci seperti polimer vinil khusus dan tekstil sintetis kini nyaris tidak diproduksi di Amerika. Bahkan, ia mengaku kesulitan merekrut tenaga kerja untuk pabrik kain di Mississippi.
“Untuk jenis produk tekstil kami, industri itu di Amerika sudah hilang,” ujarnya.
(OF/PTA)