Ekonom Ungkap THR Bukan Biang Kerok Investor Malas Berinvestasi di RI
Jakarta, CNN Indonesia –
Ekonom menegaskan investor sering kabur dari Indonesia bukan karena kewajiban membayar tunjangan hari raya (THR) kepada karyawan.
“Saya kira THR terlalu kecil kalau kita perhitungkan sebagai penyebab dari keluarnya investor,” kata Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah dalam Diskusi Universitas Paramadina secara virtual, Senin (28/4).
“Memang THR ini adalah bagian dari cost, biaya, tapi saya kira itu terlalu kecil (menjadi penyebab investor kabur). Kalau secara statistik juga tidak bisa kita masukkan sebagai penyebab dari keluarnya investor,” tegasnya.
IKLAN
Gulir untuk melanjutkan konten
Piter menekankan pemberian THR untuk pekerja sudah berlangsung lama di Indonesia. Oleh karena itu, ia yakin masalah biaya tambahan yang perlu dikeluarkan pengusaha untuk THR ini bukan biang kerok investor pergi.
Sepanjang pemberian THR untuk pekerja, ia mencatat ada juga investor yang tetap masuk Indonesia, bukan cuma yang angkat kaki. Piter menegaskan hal ini memperkuat bukti bahwa tidak ada korelasi beban THR bagi biaya yang dikeluarkan investor.
“Jadi, secara statistik kita mengatakan tidak ada relevansinya atau tidak ada dampak dari THR terhadap keluarnya investor. Itu secara statistik. Secara logika, secara hitungan nilainya juga THR saya kira terlalu kecil untuk kita masukkan sebagai faktor penyebab dari keluarnya investor,” tuturnya.
“Faktor yang menyebabkan keluarnya investor saya kira adalah faktor-faktor yang jauh lebih besar, terutama terkait kepastian. Biaya itu adalah sesuatu yang menjadi pertimbangan investor. Bayangkan kalau saya sebagai investor biayanya besar, tetapi saya mendapatkan keuntungan yang besar. Berarti biaya tidak akan saya perhitungkan, yang penting adalah keuntungannya,” imbuh Piter.
Faktor lainnya yang membuat investor kabur adalah risiko. Ini juga erat kaitannya dengan ketidakpastian berinvestasi di Indonesia.
Menurutnya, investor atau pengusaha sering menyoroti ketidakpastian kebijakan. Ini merupakan alarm bagi pemerintah untuk serius memberikan kepastian sehingga investor bisa meminimalisir risiko.
“Kalau kebijakannya maju mundur, kebijakannya 1 hari-2 hari berganti, itu memunculkan ketidakpastian. Ketidakpastian inilah yang sangat-sangat dibenci oleh para pengusaha. Karena mereka tidak bisa melakukan perencanaan secara baik,” beber Piter.
“Vietnam harus kita akui kan mereka negara sosialis, sistem kebijakan mereka masih sangat ditentukan oleh pusat, oleh pemerintah. Kalau pemerintah sudah mengatakan A, itu A. Kita kan masih banyak sekali yang kita sebut sebagai demokrasi ekonomi yang menyebabkan justru menjadi faktor kelemahannya kita,” sambungnya.
Misalnya, bagaimana kepastian lahan untuk investor. Ia melihat proses yang mesti dihadapi calon penanam modal di Indonesia cukup kompleks, berbeda dengan Vietnam yang lebih pasti.
Investor yang baru-baru ini meninggalkan Indonesia adalah LG. Perusahaan Korea Selatan itu tak jadi menggarap proyek rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV) dengan nilai investasi 11 triliun won alias Rp130 triliun (asumsi kurs Rp11.826 per won).
Pihak konsorsium pimpinan LG Energy Solution mengaku ada pergeseran dalam lanskap industri terkait kendaraan listrik. LG melihat perlambatan sementara dalam permintaan EV di kancah global.
Sementara itu, Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani mengklaim pemerintah yang justru mendepak LG. Rosan menekankan Indonesia tak ditinggal, melainkan pemerintah yang membatalkan kesepakatan tersebut.
Ia menyebut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendepak LG melalui surat pada 31 Januari 2025. Ini dibuat karena negosiasi dengan LG dianggap terlalu lama, yakni memakan waktu sampai lima tahun.
“Tadi dikatakan bahwa dari sana (LG) memutus, sebetulnya untuk lebih tepatnya dari kami (Pemerintah Indonesia) yang memutus,” tegas Rosan di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (24/4).
Indonesia sekarang menggandeng Huayou. Perusahaan asal China itu akan membentuk joint venture dengan BUMN Indonesia Battery Corporation (IBC).
(SKT/PTA)