Jakarta, CNN Indonesia –
Presiden Prabowo Subianto berencana menghapus Sistem Kerja outsourcing di Indonesia. Penghapusan ini akan menjadi tugas pertama Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang akan dibentuk.
Prabowo menekankan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional diisi oleh para pimpinan serikat buruh Tanah Air karena mereka dianggap paling memahami seluk beluk pekerja di dalam negeri.
“Saya akan meminta Dewan Kesejahteraan Nasional mempelajari bagaimana caranya kita kalau bisa, tidak segera, tapi secepat-cepatnya kita ingin menghapus outsourcing,” seru Prabowo ketika berpidato di Hari Buruh di Monas, Kamis (1/5).
IKLAN
Gulir untuk melanjutkan konten
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli pun langsung menyiapkan aturan baru terkait outsourcing guna menindaklanjuti arahan Prabowo. Regulasi itu akan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.
“Kebijakan Presiden yang disampaikan pada perayaan May Day 2025 terkait outsourcing tentunya akan menjadi kebijakan dasar dalam penyusunan Peraturan Menteri tentang outsourcing yang saat ini sedang disusun,” kata Yassierli dalam keterangan resmi.
Outsourcing adalah jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi atau di luar usaha inti (core business) suatu perusahaan. Sektor yang dibolehkan pakai outsourcing yaitu usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), catering, security/satpam, jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, sopir.
Para pengusaha pun merespons wacana ini. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bob Azam mengatakan rencana tersebut harus disertai dengan analisa teknokratis yang lengkap dan komprehensif.
“Apa yang mau dihapusnya, problemnya itu di mana? Apa di sistemnya, apa di implementasinya? Kalau di implementasinya, kalau ada problem atau penerapan yang tidak sesuai, ya tinggal diperbaiki implementasinya. Tapi kalau sistemnya, ya harus dievaluasi,” katanya kepada Cnnindonesia.com.
Lalu, apakah rencana Prabowo menghapus sistem outsourcing ini realistis?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita melihat sebetulnya pemerintah tak perlu menghapus outsourcing di Indonesia, meski memang harus diperbaiki sistem kerjanya.
Menurutnya, selama ini sistem outsourcing banyak membantu masyarakat untuk mendapatkan akses pekerjaan yang selama ini sulit mereka jangkau.
“Outsource ini bisa menjadi jembatan atas masalah asimetri informasi lapangan pekerjaan. Tidak semua orang bisa mengakses informasi lapangan pekerjaan, tidak semua orang tahu bagaimana cara masuk ke pekerjaan tertentu. Dalam gap asimetri informasi ini, outsource hadir. Termasuk juga headhunter di situ, outsource keamanan, outsource cleaning service dan sebagainya,” ujarnya.
Outsource ini juga dinilai sangat membantu perusahaan besar untuk melakukan pekerjaan tertentu. Namun, karena tidak terikat pada perusahaan, memang kerap menimbulkan masalah, sehingga yang harus dilakukan adalah memperbaiki pengawasan sistem kerjanya.
“Jadi menurut saya alangkah lebih baiknya outsource ini di reevaluasi posisinya. Sehingga kita tahu ternyata kita butuh outsource, tapi dalam konteks apa,” imbuhnya.
Ronny mengatakan pemerintah sudah saatnya membuat aturan yang mengatur jenis atau bidang pekerjaan apa saja yang boleh menggunakan sistem outsourcing. Lalu, juga besaran gaji dan potongan nya juga perlu diatur besarannya.
“Itu misalkan (potongan) kecil cuma 3 persen, 5 persen maksimum, jangan lebih dari 5 persen, kasihan gaji karyawan dan setelah pemotongan, jangan sampai gajinya disuruh di bawah UMR,” katanya.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan ada sisi positif dan negatif yang harus dipertimbangkan sebelum menghapus outsourcing.
Pertamapenghapusan ini memang langkah memperkuat perlindungan pekerja, tetapi di sisi lain dunia kerja tak bisa dibaca hitam-putih, banyak kepentingan dan variabel yang terlibat.
Apalagi, sistem outsourcing sudah lama hadir di Indonesia sebagai solusi fleksibilitas tenaga kerja bagi perusahaan, terutama sejak krisis ekonomi 1998. Kala itu, perusahaan yang tengah kesulitan ingin menghindari beban jangka panjang seperti pesangon besar, kewajiban jaminan sosial, dan rigiditas aturan hubungan kerja.
“Lewat outsourcing, mereka bisa ‘menyewa’ tenaga kerja tanpa harus terikat secara langsung,” kata Rendy.
Namun celakanya, kata Rendy, praktik ini memang sering disalahgunakan. Buruh outsourcing kerap tidak mendapat upah layak, jaminan sosial minim, dan sangat mudah diberhentikan tanpa pesangon.
Ia menilai solusi mengurai masalah tersebut sebetulnya bukan menghapus outsourcing, tapi mengatur cara kerjanya. Sebab, apabila sistem outsourcing dihapus, pekerja yang saat ini bekerja melalui cara tersebut akan kehilangan pekerjaan.
“Kalau outsourcing dihapus total, memang ada potensi gejolak. Perusahaan akan kehilangan fleksibilitas dan bisa jadi mengambil jalan pintas: PHK massal atau otomatisasi proses kerja,” jelasnya.
Lanjut Rendy, di negara lain praktik outsourcing berhasil dilakukan karena ada pengawasan dari pemerintah. Selain itu, lingkup kerja dan besaran upahnya juga diatur dengan ketat.
“Di banyak negara maju pun praktik ini ada, terutama di sektor-sektor non-core seperti cleaning service, keamanan, atau logistik. Tapi perbedaannya, di sana pengawasan ketat dan perlindungan buruh lebih dijamin. Di Indonesia, kelemahannya justru pada celah eksploitasi yang terbuka lebar,” terangnya.
Oleh sebab itu, ia menilai sudah saatnya pemerintah melakukan pengaturan yang lebih baik khusus untuk pekerja outsourcing. Ia menyarankan harus ada empat poin yang diatur. Pertamasektor yang boleh menggunakan sistem outsourcing harus dikecilkan dan ditegaskan, hanya untuk pekerjaan di luar inti bisnis.
Keduadurasi kerja harus dibatasi, misalnya maksimal 1 tahun dan wajib evaluasi. Ketigapekerja outsourcing harus dijamin haknya seperti BPJS, THR, pesangon, bahkan hak berserikat. Keempat, perlu ada transparansi kontrak dan sanksi tegas bagi perusahaan yang menyalahgunakan skema ini.
“Justru ini jadi momen bagi negara untuk memperjelas posisi, pekerja bukan sekadar angka produktivitas, tapi manusia yang harus dilindungi. Saya kira yang perlu dilakukan adalah pembatasan ketat,” tegasnya.
[Gambas:Photo CNN]
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda justru sangat mendukung sistem outsourcing dihapus. Sebab, selama ini sistem tersebut dinilai tak sehat karena tidak memberikan upah yang layak bagi pekerja.
“Skema outsourcing memang seharusnya sudah dihilangkan sejak lama karena sistem ini hanya mempermudah perusahaan memperoleh upah buruh murah,” kata dia.
Apalagi, dengan sistem outsourcing, perusahaan mampu mendapatkan tenaga kerja yang dapat dibayar harian, tanpa memberikan perlindungan sosial kepada tenaga kerja. Dengan begitu, yang diuntungkan hanya perusahaan karena dapat menghemat banyak biaya dari adanya aturan outsourcing.
Namun, ia mengakui wacana untuk menghilangkan sistem outsourcing akan mendapat penolakan dari pelaku usaha karena mereka selama ini menikmati keuntungan dari sistem tersebut. Tak hanya itu, ancaman PHK bisa saja terjadi tapi untuk jangka panjang ini akan berdampak positif bagi tenaga kerja dalam negeri.
“Namun demikian, saya mendukung sistem outsourcing ini dihilangkan, namun tantangannya tetap ada dan berpotensi mengganggu jalannya ekonomi kita seperti ancaman dari pihak swasta,” kata dia.
Huda menyebutkan salah satu jalan yang bisa menghilangkan sistem outsourcing adalah merevisi UU Cipta Kerja, khususnya bagian Ketenagakerjaan. Sebab, sistem outsourcing di Indonesia penuh ketidakjelasan terkait dengan jenis pekerjaan yang diperbolehkan hingga perlindungan tenaga kerja outsource-nya sendiri.
“Revisi UU Cipta Kerja saya rasa menjadi pintu masuk untuk menghilangkan praktik outsourcing ini. Sekaligus memberikan insentif bagi daya beli sehingga dunia usaha juga diuntungkan,” pungkasnya.
[Gambas:Video CNN]