Alarm Bahaya Ekonomi RI Menyala dari Pertumbuhan 4,87 Persen, Apa Itu?
Pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2025 (yoy) cuma 4,85 persen. Catatan pertama di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini menjadi yang terendah sejak kuartal III 2021.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan pada kuartal ini lebih rendah dari kuartal I 2024 yang berada di angka 5,11 persen. Catatan saat ini juga lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2024, yaitu 5,02 persen.
Penurunan terbesar tampak pada pertumbuhan komponen pengeluaran konsumsi pemerintah. Pada kuartal I 2024, komponen ini tumbuh 20,44 persen, sedangkan pada kuartal I 2025 sampai minus 1,38 persen.
IKLAN
Gulir untuk melanjutkan konten
Pertumbuhan pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT) juga anjlok. Pada kuartal I 2024, konsumsi LNPRT tumbuh 24,13 persen, sedangkan kuartal I 2025 hanya 3,07 persen.
Sementara itu, pengeluaran konsumsi rumah tangga (PKRT) hanya tumbuh 4,89 persen, turun dari kuartal I 2024 yang berada di angka 4,91 persen. Padahal, porsi PKRT 54,53 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia di kuartal ini.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan berkurangnya belanja pemerintah juga menjadi salah satu faktor ekonomi hanya tumbuh 4,87 persen.
“Salah satu faktor utama perlambatan saat ini adalah kontraksi konsumsi pemerintah. Karena itu, percepatan belanja negara menjadi kunci,” ucap Luhut dalam unggahan di akun Instagram @luhut.pandjaitan, Selasa (7/5).
Dia mengklaim pemerintah sudah mengetahui persoalan yang harus dibenahi.
Tak hanya pertumbuhan ekonomi. Kinerja pengentasan pengangguran juga berapor merah. BPS mencatat ada 7,28 juta orang menganggur di Indonesia.
Jumlah itu bertambah dibandingkan Februari 2024. Pengangguran bertambah sekitar 82 ribu orang atau 1,11 persen dalam setahun terakhir.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho menilai pertumbuhan 4,87 persen di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bisa menjadi alarm penanda gawat darurat sedang mengintai ekonomi Indonesia.
Dia mengatakan pertumbuhan ekonomi yang rendah itu sebenarnya sudah dibantu peningkatan konsumsi masyarakat saat Lebaran. Menurutnya, kalau tanpa topangan itu, kemungkinan pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah.
“Penekanan saya adalah ini adalah situasi yang gawat darurat dan sayangnya pemerintah diam, dalam hal ini tidak memberikan insentif, tidak memberikan stimulus, dan justru malah hanya menyakinkan bahwa perekonomian kita baik-baik saja,” kata Andry kepada Cnnindonesia.comRabu (7/5).
Apalagi tambahnya, kondisi ekonomi yang memble ini diperparah oleh lesunya industri dalam negeri. Industri tak bisa mengekspor ke China karena negara itu sedang mengalami penurunan daya beli. Ekspor ke Amerika Serikat (AS) juga terkendala perang dagang yang dikobarkan Presiden Donald Trump.
Akibatnya, perputaran uang di industri dalam negeri rendah. Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pun tak terhindarkan dan berakibat pada penurunan daya beli masyarakat.
Selain itu, Andry menyoroti hengkangnya para investor asing karena tak percaya dengan ekonomi Indonesia. Menurutnya, banyak laporan soal capital flight, termasuk laporan PPATK soal Rp28 triliun keluar dari Indonesia via crypto.
“Dan tidak ada intervensi oleh pemerintah. Bagaimana agar industri bisa tetap berjalan cash flow-nya, bagaimana industri bisa tetap mempertahankan pekerjanya, bagaimana mereka yang di-PHK mendapatkan bantuan dan juga program menggeliat,” ujarnya.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyoroti rendahnya belanja pemerintah sebagai dalang pertumbuhan ekonomi rendah di awal era Prabowo.
Yusuf berpendapat kebijakan efisiensi anggaran Prabowo kurang tepat. Efisiensi, kata dia, memang langkah yang bijak. Namun, hal itu tidak tepat dilakukan di masa seperti ini.
“Dalam masa transisi dan saat ekonomi masih memerlukan stimulus, pengurangan belanja pemerintah justru bisa memperlambat pemulihan,” ucap Yusuf.
Ronny Sasmita, analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, juga menilai efisiensi anggaran sebagai biang kerok pertumbuhan ekonomi Indonesia tak sampai 5 persen.
Dia menyebut ada kemungkinan ekonomi sulit digenjot bila kebijakan tak berubah. Menurutnya, pemerintah harus mengevaluasi kebijakan efisiensi anggaran.
Kalau tidak, ekonomi yang sudah seret di kuartal I kemarin bukan tidak mungkin akan makin terpuruk. Kalau makin terpuruk, badai PHK yang sekarang sudah melanda Indonesia bisa makin parah sehingga kehidupan masyarakat akan semakin tambah susah.
“Jika efisiensi tak dilonggarkan dan stimulus untuk menggenjot daya beli tidak ditingkatkan, tentu pertumbuhan berpeluang untuk kesulitan naik kembali ke angka 5 persen,” ujar Ronny.