4 Fakta Putusan MK Minta Pemerintah Gratiskan SD-SMP Swasta
Jakarta -
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan pemerintah untuk menggratiskan biaya SD dan SMP swasta. MK menyampaikan sejumlah pertimbangan dan kapan putusan menggratiskan biaya SD dan SMP swasta dilaksanakan.
Menggratiskan biaya SD dan SMP swasta merupakan keputusan MK dalam mengabulkan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Putusan dibacakan saat sidang di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (27/5).
Permohonan dengan nomor 3/PUU-XXIII/2025 diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga pemohon individu, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa adalah ibu rumah tangga, sementara Riris bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
MK menegaskan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) harus menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Hal itu berlaku untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Pertimbangan MK
Majelis hakim konstitusi MK. (Ari Saputra/detikcom)
|
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menilai frasa ‘wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang hanya untuk sekolah negeri menimbulkan kesenjangan. Akibatnya, kata Enny, ada keterbatasan daya tampung di sekolah negeri hingga peserta didik terpaksa bersekolah di sekolah swasta.
“Sebagai ilustrasi, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa,” ujar Enny.
MK berpandangan negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar.
Oleh karena itu, kata Enny, frasa “tanpa memungut biaya” dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan harus bersekolah di sekolah swasta dengan beban biaya yang lebih besar.
“Sehingga terjadi fakta yang tidak berkesesuaian dengan apa yang diperintahkan oleh UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena norma konstitusi tersebut tidak memberikan batasan atau limitasi mengenai pendidikan dasar mana yang wajib dibiayai negara. Norma konstitusi a quo mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar warga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar. Dalam hal ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai pendidikan dasar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta),” sebut Enny.
MK Minta Alokasi Anggaran Adil
Ilustrasi siswa SMP. (PIUS ERLANGGA)
|
Dalam salah satu pertimbangannya, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih meminta negara mengalokasikan anggaran pendidikan secara efektif dan adil. Terutama, kepada kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan akses di sekolah negeri.
“Salah satu aspek krusial dalam implementasi ketentuan tersebut adalah bagaimana negara dapat memastikan bahwa anggaran pendidikan benar-benar dialokasikan secara efektif dan adil, termasuk bagi kelompok masyarakat yang menghadapi keterbatasan akses terhadap sekolah negeri. Dalam hal ini, untuk menjamin hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi, negara wajib menyediakan kebijakan afirmatif berupa subsidi atau bantuan biaya pendidikan bagi masyarakat yang hanya memiliki pilihan untuk bersekolah di sekolah/madrasah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri,” bunyi keterangan MK.
Menurut MK, kebutuhan bantuan pemerintah sebagai bentuk perwujudan kewajiban konstitusional pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar sebagaimana diamanatkan Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, MK mempertimbangkan fakta bahwa terdapat sekolah atau madrasah swasta yang selama ini menerima bantuan anggaran dari pemerintah seperti program BOS atau program beasiswa lainnya, namun tetap mengenakan atau memungut biaya penyelenggaraan pendidikan di sekolah masing-masing dari peserta didik guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan kegiatan pendidikan sekolahnya.
“Di samping itu, terdapat pula sekolah/madrasah swasta yang tidak pernah atau tidak bersedia menerima bantuan anggaran dari pemerintah serta menyelenggarakan kegiatan pendidikan bagi peserta didiknya dengan berbasis pembayaran pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dari peserta didik sepenuhnya,” tulisnya.
Terkait hal itu, MK menilai meski ada putusan ini, sekolah swasta masih bisa memungut biaya kepada peserta didiknya. Sebab, anggaran pemerintah saat ini masih terbatas.
“Terhadap sekolah/madrasah swasta demikian, menurut Mahkamah, menjadi tidak tepat dan tidak rasional jika dipaksakan tidak boleh lagi mengenakan atau memungut biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan mereka dari peserta didik sama sekali, sementara di sisi lain kemampuan fiskal (anggaran) pemerintah untuk memberikan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dasar bagi satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat (sekolah/madrasah swasta) yang berasal dari APBN dan APBD diakui juga masih terbatas sampai saat ini,” katanya.
Oleh karena itu, menurut MK, meskipun tidak dilarang sekolah atau madrasah swasta sepenuhnya membiayai sendiri penyelenggaraan pendidikan yang berasal dari peserta didik atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, namun terhadap sekolah atau madrasah swasta dimaksud tetap memberikan kesempatan kepada peserta didik di lingkungan sekolah atau madrasah swasta untuk menjadi peserta didik dengan memberikan skema kemudahan pembiayaan tertentu, terutama bagi daerah yang tidak terdapat sekolah atau madrasah yang menerima pembiayaan dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa ‘wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ dalam norma Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003, yang menurut para Pemohon menimbulkan multitafsir dan diskriminasi karena hanya berlaku untuk sekolah/madrasah negeri adalah beralasan menurut hukum,” papar Enny.
Lebih lanjut, MK mengatakan norma Pasal 31 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 memang tidak merinci jenis pendidikan apa saja yang menjadi lingkup 20% dari anggaran pendidikan. Dalam hal ini, Pasal 1 angka 3 UU 20/2003 telah menentukan, “sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.” Ketentuan mengenai alokasi anggaran pendidikan yang ditetapkan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD ini lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 49 UU Sisdiknas.
Dalam kaitan dengan dalil para pemohon mengenai adanya ketimpangan dalam alokasi anggaran pendidikan dasar yang berdampak pada tingginya angka putus sekolah di tingkat pendidikan dasar, MK menilai bahwa persoalan tersebut lebih bersifat implementatif dan administratif, yang seharusnya menjadi ranah kebijakan pemerintah dalam menentukan alokasi anggaran pendidikan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan sektor pendidikan di setiap wilayah.
Waktu Pelaksanaan Putusan
Hakim MK: Saldi Isra dan Suhartoyo. (Ari Saputra/detikcom)
|
MK mengatakan jika dilihat dari hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob), putusan ini bisa dilakukan secara bertahap. Namun, jika dilihat dari hak sipil dan politik, putusan ini berlaku segera.
“Mahkamah berpandangan terkait dengan sifat pemenuhan hak ekosob tersebut pada prinsipnya berbeda dengan sifat pemenuhan hak sipil dan politik (sipol) yang bersifat segera (promptly) dengan mengurangi sedemikian rupa campur tangan negara dalam pelaksanaan hak tersebut,” bunyi keterangan MK.
“Sementara itu, terkait dengan pemenuhan hak ekosob dapat dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kondisi kemampuan negara karena pemenuhan hak ekosob senantiasa berkaitan dengan ketersediaan sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran,” sambungnya.
Terkait dengan putusan ini, MK menilai pendidikan dasar itu masuk ke hak ekosob. Maka putusan ini sifatnya bertahap.
“Oleh karena itu, perwujudan pendidikan dasar yang tidak memungut biaya berkenaan dengan pemenuhan hak ekosob dapat dilakukan secara bertahap, secara selektif, dan afirmatif tanpa memunculkan perlakuan diskriminatif,” katanya.
Alasan Pemohon Ajukan Gugatan
Ilustrasi siswa SD. (ANTARA FOTO/Putra M. Akbar)
|
Dasar alasan permohonan mereka adalah tidak maksimalnya pemakaian anggaran pendidikan di sejumlah daerah di Indonesia. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia atau JPPI menemukan data pada 2016 yang menujukan anggaran pendidikan tidak digunakan untuk program penuntasan wajib belajar di jenjang pendidikan dasar, tetapi lebih digunakan untuk belanja tidak langsung.
“Bahwa berdasarkan data-data anggaran pendidikan dasar tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sangat memungkinkan pendidikan dasar baik di sekolah swasta maupun negeri dibiayai oleh 20% APB dan 20% APBD, dengan beberapa alasan yang mendukung,” bunyi alasan permohonan pemohon sebagaimana dilihat dalam putusan MK.
Petitum pemohon ialah:
1. Mengabulkan Permohonan PARA PEMOHON;
2. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) sepanjang frasa “Wajib Belajar minimal Pada Jenjang Pendidikan Dasar Tanpa Memungut Biaya” Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 Dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) Inkonstitusional secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Wajib Belajar minimal Pada Jenjang
Pendidikan Dasar yang dilaksanakan di Sekolah Negeri maupun Sekolah Swasta Tanpa Memungut Biaya”;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau,Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Halaman 2 dari 5
(rfs/rfs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini