Penulisan Gelar Haji dan Hajah yang Benar, Simak Aturan dan Sejarahnya
Jakarta –
Setiap tahunnya, jutaan Muslim dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Setelah kembali ke tanah air, sebagian jemaah menyematkan gelar “Haji” atau “Hajah” pada namanya sebagai bentuk penghormatan atas ibadah tersebut.
Namun, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bagaimana cara penulisan gelar haji dan hajah yang sesuai kaidah bahasa maupun aturan resmi pemerintah. Untuk itu, penting memahami pedoman penulisan yang tepat serta sejarah munculnya gelar ini di Indonesia.
Penulisan judul haji dan haji
Judul “Haji” untuk pria dan “haji” untuk wanita termasuk dalam kategori tersebut gelar keagamaan. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan, gelar keagamaan dapat dicantumkan dalam dokumen kependudukan seperti Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el).
Gulir untuk melanjutkan konten
Namun demikian, Permendagri tersebut juga mengatur bahwa gelar keagamaan ini tidak boleh dicantumkan dalam akta pencatatan sipil, seperti Akta Kelahiran, Akta Kematian, Akta Perkawinan, Akta Perceraian, hingga Akta Pengakuan Anak. Artinya, nama pada dokumen tersebut harus ditulis tanpa tambahan gelar.
Sementara dari sudut pandang, sesuai dengan Pedoman Ejaan Umum (EYD), tulisan judul haji dan haji ditempatkan di depan nama lengkap, dan dapat disingkat menjadi “H.” Untuk haji dan “hj.” Untuk haji.
Sejarah Haji dan Haji di Indonesia
Mengutip situs resmi Kementerian Agama (Kemenag), tradisi penyematan gelar haji dan hajah di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang dan dapat ditinjau dari tiga perspektif, yaitu keagamaan, budaya, dan kolonial.
Dari sisi religius, ziarah dipandang sebagai bentuk kesempurnaan pilar Islam. Perjalanan jarak jauh, biaya besar, dan persyaratan administrasi yang tidak membuat ziarah dengan mudah. Oleh karena itu, judul “haji” dan “haji” adalah bentuk rasa hormat yang layak diberikan kepada mereka yang berhasil melakukannya.
Dari perspektif budaya, penyematan gelar ini berkembang seiring cerita-cerita heroik dan emosional dari para jemaah haji yang kembali ke tanah air. Banyak tokoh masyarakat dan pemimpin lokal yang menyandang gelar tersebut, menjadikan gelar haji sebagai simbol status sosial dan religius yang tinggi dalam masyarakat Indonesia.
Sementara dari perspektif kolonial, pada masa pemerintahan Belanda, gelar haji awalnya digunakan sebagai alat pengawasan terhadap jemaah asal Hindia Belanda. Pemerintah kolonial bahkan membuka Konsulat Jenderal di Arab pada tahun 1872 untuk mencatat pergerakan jemaah dan mewajibkan mereka mengenakan atribut serta menyandang gelar haji agar mudah dikenali. Dari sinilah tradisi penggunaan gelar haji mulai mengakar di Nusantara.
Tonton juga “Hukum Islam adalah tentang judul ziarah, MUI: Ketika niatnya adalah untuk pamer, itu tidak bisa!” Di Sini:
(WIA/IMK)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini