Cerita Kompol Reny Tolak Suap dan Tindak Tegas Judi saat Ritual Adat Wara
Jakarta –
Kompol Reny Arafah yang merupakan mantan Kapolsek Teweh Tengah, Barito Utara, Kalimantan Tengah (Kalteng) menggerebek lapak-lapak judi yang bersembunyi di balik ritual adat Wara pada awal Agustus 2022 silam. Polwan asli Suku Dayak ini dengan tegas menolak gratifikasi dan menghadapi intervensi dari para bandar judi dan oknum masyarakat yang menentang proses penegakan hukum.
“Sebelumnya di Kalimantan Tengah, khususnya daerah saya Barito Utara itu terkenal dengan adat Wara. Adat Wara itu saat orang meninggal, rohnya itu kita hantar ke khayangan, surga. Jadi dalam pengantaran tersebut ada permainan namanya Usik Liau, dan bermacam-macam, tapi perlu digarisbawahi tidak berhubungan dengan nilai uang. Saya sendiri orang Dayak Bakumpai, saya tahu seperti apa adat Wara sesungguhnya, karena kebetulan tempatnya adat Wara itu di Gunung Lumut namanya berada di samping desa kelahiran saya yaitu Lampeong, dan saya berasal dari Benangin Tewe Timur, saya asli putri pribumi,” kata Reny kepada detikcomJumat (4/10/2024). Sosoknya diusulkan dalam ajang Hoegeng Corner 2024 oleh Polres Barito Utara.
Reny menyampaikan rasa prihatin atas adat istiadatnya yang disusupi praktik perjudian konvensional seiring perkembangan zaman, yakni permainan dadu gurak dan sabung ayam. Polwan yang kini menjalani studi S2 di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta ini tak ingin adat Wara ternodai.
“Sebenarnya saya tidak bubarin acara adat Wara yang benar-benar dilaksanakan. Saya menghargai adat saya, wilayah saya, tempat saya, budaya saya. Yang saya sesali dan bubarkan ini praktik judi yang menyusup di lokasi sekitar acara adat. Bandar judi dari luar daerah mengambil kesempatan dari keramaian adat Wara seperti menggelar lapak dadu gurak, lalu sabung ayam,” ujar Reny.
Reny menuturkan dalam adat Wara memang ada kegiatan adu ayam, tapi motivasinya bukan untuk menang atau kalah dan mendapatkan uang. Adu ayam inilah, kata Reny, yang dijadikan celah dan digeser nilai adatnya menjadi permainan sabung ayam oleh bandar judi.
“Memang di adat Wara itu ada adu ayamnya, tapi bukan untuk dijudikan. Orang-orang tidak bertanggung jawab memanfaatkan adu ayam di adat Wara menjadi sabung ayam dengan ada nilai uangnya. Jadi adat Wara ini adatnya Hindu Kaharingan. Justru yang bandarnya itu bukan orang situ, justru Muslim, Kristen misalnya. Pemain ya warga bahkan kaum ibu, sampai oknum damang juga ada yang ikut main (judi),” kata Reni.
Reny membeberkan modus para bandar adalah mencari warga adat yang hendak me-Wara-kan keluarganya yang telah meninggal dunia. Kemudian para bandar menawarkan pendanaan ritual Wara pada kepada warga adat yang dimaksud.
“Bandar-bandarnya itu bukan orang Kalteng, justru Kaltim seperti Banjarmasin. Mereka kuat di pendanaan. Jadi misalnya saya orang adat, ada keluarga saya yang meninggal, saya mau Wara-kan. Nah si bandar ini menawarkan, ‘Ibu butuh apa? Kerbau? Oke saya danakan kerbaunya. Tapi saya buka lapak (judi) di situ’,” jelas Reny.
“Nah dalam satu acara Wara itu bandar nggak cuma satu, bisa ada lima. Jadi mereka kumpulkan uang untuk pendanaan acara Wara tersebut. Misalnya dia mau buka satu lapak, dia sumbanglah Rp 15 juta untuk danai adat Wara. Di situ selama ini terkesan dibiarkan karena ada Usik Liau (adu ayam) tadi itu. Sebenarnya adu ayam di Wara itu tajinya kayu. Nah ini yang diselubungi judi ini pakai taji besi, pisau, sabung ayam,” sambung Reny.
Reny menilai para bandar merasa aman selama ini mendirikan lapak-lapak judi saat ritual Wara, karena bersembunyi di balik momen upacara adat. Reny menambahkan adat Wara yang sesungguhnya berlangsung sepekan hingga dua pekan, namun para bandar memanfaatkan hingga membuka lapak dadu gurak dan permainan judi lainnya bisa sampai sebulan bahkan tiga bulan lamanya.
“Ritual Wara itu 7 sampai 14 hari, nah yang disusupi oleh orang-orang jahat ini berlangsung sampai sebulan, bahkan 3 bulan. Jadi lebih pada judinya malah. Menyimpang banget dan itu terang-terangan, itu sudah tindak pidana. Saya nggak terima adat saya disalahgunakan,” tegas Reny.
Foto: Kompol Reny Arafah saat membubarkan perjudian di area acara adat Wara. (dok. istimewa)
|
Ditawari Uang Per Lapak
Reny menjelaskan dari hasil pengumpulan bahan dan keterangan saat menyelidiki praktik judi di adat Wara ini, terungkap perputaran uang di satu lapak saja bisa mencapai Rp 100 juta jika berlangsung siang-malam. Reny mengaku sempat ditawarkan gratifikasi untuk tak mengganggu praktik judi di adat Wara.
“Adat Wara yang disusupi judi ini sering dilakukan, saya risih. Satu lapak perputaran uangnya itu bisa sampai Rp 100 juta lebih seharian, siang-malam. Sampai anak-anak kecil itu nonton, nonton judi itu. Bahkan saya pernah ditawari satu lapak berapa gitu buat kapolsek, saya menolak. Itu sudah ada sebelum saya menjabat Kapolsek. Polsek kan ada hak untuk memberi izin keramaian. Wara itu dia ada pengajuan keramaiannya,” tutur Reny.
“Pada saat pengajuan keramaian, kita diiming-imingi, ‘Bu, kami mau mengadakan Wara, nanti ibu kami kasih perlapak’. Tegas saja, di balik uang-uang itu banyak masyarakat teraniaya misalnya istri-istri dipukul suaminya gara-gara main Wara, saya nggak lah. Saya mau adat saya jadi budaya yang origin,” tambah dia.
Reny pun menegaskan kepada penyelenggara adat Wara agar meniadakan praktik judi selama ritual berlangsung. Reny menuturkan sebagai aparat, dia tak melarang kegiatan adat, namun melarang semua praktik pelanggaran hukum yang membersamai adat Wara.
“Saya pernah memberi izin Wara dengan catatan rekomendasi, ‘Silakan melaksanakan adat Wara selama tidak ada perputaran uang’. Jadi saya kasih izin khusus adatnya, bukan izin untuk praktik dadu gurak. Jadi izin keramaian terkait upacara adat itu wajib kita keluarkan. Tapi bukan izin melakukan permainan dadu gurak atau sabung ayam. Tapi tidak didengar juga,” jelas Reny.
Karena merasa sudah cukup melakukan imbauan dan peringatan, Reny bersama anggotanya menggerebek lapak-lapak judi saat adat Wara pada 4 Agustus 2022. Kala itu kondisi Reny sedang mengandung tiga bulan.
Reny menerangkan penindakan ini tak bisa dilakukan ujug-ujug tanpa persiapan dan prediksi yang matang. Sedari awal menjabat Kapolsek Teweh Tengah dia menjalin komunikasi dengan para kepala adat, tokoh masyarakat setempat, aparat TNI, hingga perangkat desa dan kelurahan untuk menyamakan pandangan mengenai sabung ayam serta dadu gurak yang tergelar di ritual Wara adalah pelanggaran hukum karena ditemukannya bukti taruhan dan perputaran uang.
“Saya akhirnya gerebek setelah 9 bulan saya menjabat kapolsek, saat itu usia kehamilan saya 3 bulan. Kenapa baru menindak? Saya harus koordinasi dengan kepala adat, komunikasi dengan tokoh masyarakat. Sebagai aparat nggak langsung, ‘Oh saya gerebek sendiri’, nggak. Di sana ada namanya Majelis Agama Hindu Kaharingan, saya rangkul dulu. Lalu saya rangkul mantir-nya, demang-nya, TNI, lurah, kades, RT/RW. Setelah semua satu pemahaman dengan kita, kita satu kekuatan, baru kita mainkan,” ungkap Reny.
Reny juga meyampaikan perlunya waktu berbulan-bulan hingga akhirnya menindak praktik judi ini untuk menghindari prasangka negatif serta denda adat (Jipen). “Jangan sampai jalan sendiri-sendiri lalu nanti menimbulkan kesalahpahaman, ‘Kok aparat bubarin acara adat’, lalu nantinya kita malah kena denda adat. Kalau kita salah langkah, kita akan di-Jipen atau didenda adat,” ucap Reny.
Reny melanjutkan, dirinya pun sudah memprediksi akan mendapat perlawanan sengit dari para bandar yang menggunakan oknum masyarakat adat. Reny sudah menduga dirinya akan dituduh menodai adat Wara dengan penggerebekan ini, namun dia sebelumnya sudah melaporkan rencana penggerebekan ke atasan di Polres.
“Sebelum penggerebekan juga kita kasih peringatan loh itu, ‘Bubarkan acara kalian. Kalau sampai besok tidak bubar, saya akan naik’. Nggak didengar juga, karena merasa selama ini nggak pernah ada yang bubarin. Mereka berlindung di balik adat, kalau ada yang bubarin adat bisa kena Jipen (denda adat). Saya membubarkan itu, saya pernah dilempari nasi basis ama warga, padahal itu adat saya mau saya bersihkan dari praktik judi,” ujar Reny.
“Saya juga pernah dikasih piring putih, tanda mereka mau Jipen saya. Tapi saya kan sebelum bertindak sudah berkomunikasi dengan tokoh adatnya, damang-nya, mantir-nya, Ketua Majelis Kaharingannya. Saya diamkan saja,” imbuh Reny.
Foto: Kompol Reny Arafah mengatakan sejak digerebek, selama dia menjabat tak ada lagi bandar judi yang menyusup di adat Wara. (dok. istimewa)
|
Judi Terselubung di Adat Wara Resahkan Masyarakat
Masih kata Reny, permainan judi yang menggeser nilai-nilai budaya Wara juga meresahkan masyarakat. Para istri mengeluhkan tingkah suaminya yang ketagihan judi seperti terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga permasalahan keuangan di rumah tangga para warga. Tak hanya itu, Polsek Teweh Tengah juga mendapat laporan adanya pencurian motor di arena lapak judi.
“Masyarakat itu tuh sudah mengeluhkan judi ini, saya kumpulkan keluhannya. Ada yang istri dipukuli suami karena suaminya main judi di Wara, motor hilang di sekitar adat Wara,” tutur Reny.
Oleh sebab itu usai penggerebekan, dia memidanakan para bandar hingga perkara ini berlanjut ke kejaksaan dan berakhir di pengadilan. Setelah penggerebekan tersebut, Reny bersyukur tak ada lagi bandar judi yang berani membuka lapak ketika adat Wara selama dirinya menjabat Kapolsek.
“Benar-benar kasusnya kita tindak lanjutin, kita jerat bandarnya. Jadi semenjak itu yang melaksanakan adat Wara benar-benar melaksanakan. Tidak ada lagi bandar masuk untuk dompleng adat itu,” tegas Reny.
Bahkan, tutur Reny, keluarga yang mengadakan ritual Wara menemui dirinya untuk meminta izin sekadar merampungkan rangkaian ritual tersebut. Saat itu proses lanjutan adat Wara sudah dipelototi Majelis Agama Hindu Kaharingan.
“Pasca penggerebekan justru pada saat kejadian itu, lebih dulu keluarga yang melaksanakan Wara itu dating ke saya, minta izin melanjutkan upacara Wara-nya. Kita persilakan keluarga melanjutkan adat Wara-nya. Saya juga ke keluarga yang melaksanakan Wara. Setelah itu Majelis Agama Hindu Kaharingannya yang memantau langsung jalannya upacara adat mereka. Akhirnya ritual Wara itupun selesai dengan tidak ada konflik di tengah masyarakat,” kata Reny.
Reny pun tak menggubris narasi-narasi negatif yang dibuat para pihak yang merasa dirugikan dengan hilangnya permainan dadu gurak serta sabung ayam di adat Wara. Meski, imbuhnya, sampai dia disebut putri adat yang tak beradat oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan masyarakat adat.
“Kalau intervensi jelas dari kelompok adat yang oknum ya, mungkin dapat jatah dari praktik judi itu. Kemudian datang lagi organisasi yang mengatasnamakan adat, dia perempuan. Kemudian ada juga pengacara yang mau mempidanakan saya karena menuding saya membubarkan acara adat, mencemarkan adat sendiri sampai dibilang, ‘Anak asli Dayak, polisi tapi tidak beradat’. Saya nggak takut, kalau itu memang ada judinya. Saya nggak masalah adatnya, saya masalah itu karena ada judinya. Ya tetap aja mereka berkilah itu bukan judi, itu Usik Liau (permainan). Saya bilang itu bukan Usik Liau, saya tau Usik Liau itu tidak ada perputaran uang,” pungkas Reny.
(aud/knv)