Demikian keputusan hakim yang memvonis Gazalba Saleh 10 tahun penjara
Jakarta –
Majelis hakim menyatakan Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh terbukti menerima gratifikasi terkait pengurusan perkara kasasi kasus pengelolaan limbah B3 tanpa izin, pengusaha Jawahirul Fuad. Hakim menyatakan Gazalba menerima bagian Rp 500 juta dari total Rp 650 juta yang diberikan Jawahirul.
Hal itu disampaikan majelis hakim saat membacakan pertimbangan vonis 10 tahun penjara Gazalba Saleh. Hakim menyatakan Jawahirul memberikan uang total Rp 650 juta ke pengacara Ahmad Riyadh yang kemudian diberikan ke Gazalba.
“Menimbang bahwa dari fakta hukum tersebut di atas majelis hakim berpendapat telah terjadi penerimaan gratifikasi oleh terdakwa Gazalba Saleh sejumlah Rp 500 juta yang diperoleh dari saksi Jawahirul Fuad terkait pengurusan perkara kasasi nomor 3679 dan seterusnya, terhadap penerimaan gratifikasi tersebut terdakwa menerima bagian uang dolar setara dengan Rp 500 juta sedangkan sisanya sejumlah Rp 150 juta merupakan bagian yang diterima oleh Ahmad Riyadh. Bahwa gratifikasi tersebut berhubungan dengan jabatan terdakwa Gazalba Saleh selaku hakim agung dan Mahkamah Agung RI,” kata hakim anggota Sukartono di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (15/10/2024).
Hakim menyatakan uang itu diterima Riyadh dalam dua kali penerimaan. Penerimaan pertama yakni sebelum putusan kasasi sebesar Rp 500 juta dan penerimaan kedua sebesar Rp 150 juta usai putusan kasasi perkara Jawahirul Fuad tersebut.
“Menimbang bahwa atas bantahan terdakwa Gazalba Saleh bertentangan dengan keterangan para saksi di persidangan, saksi Prasetyo Nugroho selaku asisten terdakwa yang membuat konsep advise blad kabul atau K dalam kurung barang bukti nomor 268 dalam perkara kasasi nomor 3679K atas nama saksi Jawahirul Fuad yang berkas bacanya belum sampai ke meja terdakwa. Majelis hakim menilai bantahan terdakwa tidak dapat diterima,” kata hakim.
“Sebelum putus Rp 500 juta dan setelah putus sebesar Rp 150 juta total saksi Jawahirul Fuad mengeluarkan uang sejumlah Rp 650 juta,” tambah hakim.
Hakim menyatakan pembelian Toyota Alphard oleh Gazalba yang diatasnamakan kakaknya, Edy Ilham Shooleh merupakan hal yang wajar. Hakim menyatakan sumber uang pembelian Alphard itu berasal dari penghasilan Gazalba sebagai hakim agung dan penghasilan istri Gazalba, Atmasari.
“Menimbang bahwa pembelian kendaraan Toyota New Alphard 2.5 tersebut warna hitam, nomor polisi B15-ABA Pada tahun 2020 oleh terdakwa tidak dimasukan dalam laporan LHKPN tahun berikutnya, tahun 2021, 2022. Pembelian mobil Alphard yang dilakukan oleh terdakwa, majelis hakim menilai pembelian tersebut adalah wajar sebagai seorang hakim agung sejak tahun 2017 dan ditambah penghasilan dari istri terdakwa yang memiliki penghasilan cukup maka majelis hakim berpendapat bahwa pembelian mobil Alphard oleh Terdakwa Gazalba Saleh dari penghasilan yang sah terdakwa dan istrinya,” ujar hakim.
Hakim meyakini Gazalba sengaja tak melaporkan pembelian sejumlah aset dalam LHKPN untuk menyembunyikan uang hasil korupsi. Hakim menyatakan Gazalba juga melakukan penukaran uang dengan cara tak lazim.
“Padahal berdasarkan keterangan Diana Siregar dan saksi Hendra Sinaga, pemilihan lokasi VIP money changer merupakan inisiatif terdakwa karena sebagai mana fakta yang terungkap dalam persidangan, sejak tahun 2020 terdakwa terbiasa melakukan penukaran mata uang asing di sana, sesuai dengan keterangan saksi Carolina Wahyu Aprilia Sari,” kata hakim.
“Menimbang bahwa dalam melakukan pembayaran terdakwa menggunakan cara yang tidak lazim dalam hal jual beli barang yang berlaku secara umum di masyarakat yaitu terdakwa meminta identitas saksi Diana Siregar sebagai penukar mata uang sekaligus saksi Diana Siregar sebagai penerima hasil penukaran uang asing tersebut,” tambah hakim.
Hakim menyakini Gazalba juga menerima bagian dari total uang Rp 37 miliar yang diberikan Jaffar Abdul Gaffar terkait pengurusan peninjauan kembali (PK) ke pengacara Neshawaty Arsjad. Gazalba merupakan salah satu hakim agung yang menangani perkara tersebut.
“Dalam pengurusan perkara PK terpidana Jaffar Abdul Gaffar penasihat hukum adalah Neshawaty Arsjad dalam pengurusan PK Jaffar Abdul Gaffar telah mengeluarkan biaya untuk penasihat hukum seluruhnya sebesar Rp 37 miliar. Dari uang tersebut majelis memperoleh keyakinan dari alat-alat bukti yang terungkap, berdasarkan pertimbangan unsur-unsur pidana yang telah terbukti di atas ada pembagian uang kepada Terdakwa Gazalba Saleh melalui saksi Neshawaty Arsjad. Keyakinan majelis didukung dengan bukti, petunjuk dari keterangan terdakwa dan keterangan saksi Neshawaty Arsjad,” tutur hakim.
Hakim tak membebankan uang pengganti pada Gazalba. Hakim menyatakan tak ada kerugian keuangan negara dalam kasus ini.
“Oleh karena itu, uang negara tidak ada yang keluar sehingga majelis berpendapat tidak ada kerugian keuangan negara maka dalam perkara a quo terdakwa tidak dapat dikenakan pidana tambahan berupa uang pengganti tersebut,” ujar hakim.
Diketahui, Gazalba Saleh divonis 10 tahun penjara. Majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyatakan Gazalba terbukti menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Gazalba Saleh oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 tahun,” kata ketua majelis hakim saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (15/10).
Hakim menyatakan Gazalba terbukti menerima gratifikasi Rp 500 juta dari Jawahirul Fuad terkait pengurusan kasasi. Hakim juga menyatakan Gazalba menerima bagian dari Rp 37 miliar yang diberikan pengacara Jaffar Abdul Gaffar, Neshawaty, terkait pengurusan PK Jaffar.
Uang itu, menurut hakim, disamarkan Gazalba lewat TPPU. Gazalba pun dihukum membayar denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan.
Hakim menyatakan Gazalba terbukti bersalah melanggar Pasal 12 B UU Tipikor dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
(mib/idn)