Indeks Ketimpangan Gender RI Dinilai Stagnan, Bamsoet: Masih Banyak PR
Jakarta –
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menuturkan di tengah laju modernitas dan kemajuan zaman, ternyata isu ketimpangan gender masih menjadi persoalan klasik yang mengemuka. Isu ketimpangan gender bahkan hampir selalu menjadi bagian dari dinamika kehidupan berbangsa dan mewarnai setiap periodisasi pemerintahan. Upaya pengarusutamaan gender sebagai program prioritas pembangunan, masih bersifat jargon yang belum membumi dalam realisasi.
Merujuk pada data statistik dalam negeri, lanjut Bamsoet, indeks ketimpangan gender (IKG) di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami stagnasi. Tahun 2011 Indonesia mendapatkan IKG sebesar 0,481, dan pada tahun 2023 sebesar 0,447. Artinya, tidak banyak perubahan yang berarti, selama kurun waktu dua belas tahun tersebut. Meskipun ada penurunan, namun angkanya tidak terlalu signifikan.
“Selain itu, berdasarkan laporan World Economic Forum tahun 2023, Indonesia berada di peringkat 87 dari 146 negara dalam Indeks Kesenjangan Gender Global. Peringkat ini menunjukkan bahwa kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mengurangi kesenjangan gender. Terutama dalam hal partisipasi ekonomi dan politik, serta akses terhadap pendidikan dan kesehatan,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (6/8/2024)
Hal itu ia sampaikan dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) di Jakarta, hari ini. Hadir antara lain Ketua Presidium Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Saniatul Lativa, Sekjen Lis Dedeh, Dewan Pakar Endang S Tohari dan Nadrah Zahari.
Lebih lanjut Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan banyak faktor yang menjadi penyebab masih eksisnya fenomena ketimpangan gender. Misalnya, masih kuatnya budaya patriarki dan seksisme, serta masih berkembangnya pola pikir yang cenderung menempatkan posisi kaum perempuan berada di bawah laki-laki.
Faktor lain misalnya adanya kesenjangan dalam memperoleh akses pendidikan dan pekerjaan. BPS mencatat tahun 2023, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan masih berada di angka 54 persen, jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki yang mencapai 84 persen. Ini mengisyaratkan, bahwa perempuan masih menghadapi berbagai hambatan untuk berpartisipasi penuh dalam dunia kerja.
Kesenjangan gender juga tercermin dari akses perlindungan hukum. Secara global, menurut catatan Bank Dunia tahun 2024, akses perlindungan hukum yang diperoleh perempuan hanya sebesar dua per tiga atau sekitar 67 persen dari yang diterima laki-laki.
“Di samping itu, masih minimnya keterwakilan perempuan dalam pemerintahan dan proses politik juga tercermin dari masih lemahnya angka keterpilihan perempuan dalam Pemilu. Dimana pada tahun 2024 hanya mencapai 21,9 persen dari total quota yang dialokasikan sebesar 30 persen,” kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender perlu dilakukan perubahan pada berbagai fase. Pertama, diperlukan kebijakan yang lebih inklusif untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan dihormati dan dilindungi. Untuk itulah representasi perempuan di parlemen yang lebih banyak dibutuhkan, sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang pro kesetaraan gender.
Kedua, penting disadari bahwa kebijakan dan undang-undang saja tidak akan cukup. Implementasi yang efektif dan perubahan budaya yang mendukung kesetaraan gender adalah kunci untuk mencapai tujuan ini. Salah satu tantangan terbesar adalah mengubah stereotip dan norma sosial yang masih membatasi peran perempuan dalam masyarakat. Pendidikan dan kampanye kesadaran publik sangat penting untuk mengatasi hambatan ini.
“Ketiga, sektor swasta juga memiliki peran penting dalam mendukung kesetaraan gender. Banyak perusahaan di Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan ramah gender. Program-program seperti kebijakan cuti melahirkan yang lebih baik, fleksibilitas kerja, dan dukungan bagi perempuan dalam posisi kepemimpinan adalah contoh upaya positif yang dapat diadopsi lebih luas,” pungkas Bamsoet.
(akn/ega)