Potret Miris Pendidikan di RI




Jakarta

Anggota Komisi X DPR Andreas Hugo menyoroti pengakuan guru di SMKN VI Ende, Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya mendapatkan gaji Rp 250 ribu dalam sebulan unggahan viral di media sosial. Andreas menyebut ketimpangan kesejahteraan guru antara daerah-daerah besar dan daerah terpencil sudah bukan rahasia lagi.

“Ini adalah potret miris pendidikan Indonesia di daerah-daerah. Kondisi seperti ini sering sekali kita temui di daerah-daerah terpencil,” kata Andreas, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (6/8/2024).

Andreas mengatakan, banyak guru-guru di daerah yang kesejahteraannya masih minim. Terutama guru-guru honorer, yang bahkan seringkali gajinya baru dibayar berbulan-bulan.

IKLAN

GULIR UNTUK MELANJUTKAN DENGAN KONTEN

Gaji yang didapat para guru-guru di daerah terpencil menurutnya tidak sebanding dengan perjuangan mengajar. Andreas menyoroti banyaknya guru di daerah terpencil yang harus melewati medan berat untuk sampai ke sekolah demi mengajar anak-anak.

“Hanya dengan modal semangat mengabdilah yang membuat guru-guru ini bertahan mendidik siswa-siswi yang juga dengan kesederhanaan bertekad mengubah nasib melalui dunia pendidikan,” ucapnya.

“Kita sering temukan guru-guru daerah terpencil harus berjalan kaki berjam-jam untuk mengajar, mereka keluar masuk hutan dan lembah, lewat jalur terjal, menyeberang sungai dengan fasilitas seadanya, dan lain sebagainya,” sambung Andreas.

Oleh karenanya, pihaknya terus mendorong pemerintah untuk hadir dalam membantu meningkatkan sumber daya guru dan fasilitas di daerah 3TP (Tertinggal, Terluar dan Termiskin) agar tidak ada ketimpangan kualitas pendidikan. Andreas menyebut, ketimpangan sumber daya guru menjadi salah satu penyebab adanya gap kualitas pendidikan di kota dan daerah.

“Salah satu persoalan pendidikan di Indonesia adalah ketimpangan kualitas pendidikan antara sekolah dan kualitas pendidikan yang ada di kota dan yang ada di desa. Karena miskinnya fasilitas infrastruktur, kualitas guru dan jaminan kesejahteraan untuk guru,” paparnya.

Andreas mengingatkan pentingnya negara untuk menangani permasalahan kesejahteraan guru honorer, khususnya di wilayah 3TP dan luar Pulau Jawa. Apresiasi dan penghargaan yang besar harusnya dilakukan pemerintah terhadap guru yang rela mengabdi dengan ketulusan untuk pendidikan anak Indonesia agar tidak tertinggal.

“Kehadiran negara sangat penting dalam dunia pendidikan khususnya untuk mengubah nasib guru, peserta didik dengan memperoleh kesejahteraan yang memadai untuk kehidupan dan masa depannya,” jelas Andreas.

“Mereka telah mengabdi dengan tulus dan memberikan sumbangsih besar untuk kemajuan bangsa dan negara dengan mendidik anak bangsa. Kita harus perhatikan,” imbuhnya.

Andreas menilai hingga saat ini pemerintah belum mengambil langkah pasti terhadap nasib guru honorer di Indonesia yang jumlahnya sangat besar. Padahal banyak guru honorer yang tetap loyal mengajar dengan kondisi terbatas dan memprihatinkan hingga puluhan tahun lamanya.

“Janji-janji Pemerintah yang akan mengangkat guru honorer menjadi PPPK juga belum terealisasi sepenuhnya dan masih dalam pembahasan yang berlanjut. Harusnya prioritaskan guru yang betul-betul mengabdi untuk diangkat sebagai ASN,” sebutnya.

“Bangsa ini tidak akan mencapai pendidikan yang berkualitas kalau miskin guru yang berkualitas. Dan kalau guru berpenghasilan seadanya, mereka juga tidak maksimal dalam mengajar. Ini semua adalah sebab akibat,” lanjut Andreas.

(eva/eva)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *