Siapa yang Akan Menang Perang Dagang, AS atau China?



Jakarta, CNN Indonesia

Perang Dagang Antara Amerika Serikat (AS) dan Cina semakin memanas. Saling balas tarif hingga boikot dilakukan kedua negara tersebut.

Presiden AS Donald Trump terus menaikkan tarif atas barang-barang China yang akan masuk ke negaranya hingga 245 persen. Langkah itu diambil Trump karena China membalas menaikkan tarif terhadap barang impor dari AS hingga 125 persen.

Tak hanya tarif, China juga punya senjata lain untuk membalas AS. Salah satunya dengan memboikot pesawat jet perusahaan AS, Boeing.

IKLAN

Gulir untuk melanjutkan konten

Tiongkok membalas dengan memerintahkan maskapai penerbangannya untuk tak lagi menerima pengiriman pesawat jet dari Boeing. Padahal, tiga maskapai penerbangan terbesar China dijadwalkan menerima pengiriman masing-masing puluhan pesawat pada 2025 sampai 2027.



Senjata ampuh lainnya milik China adalah rantai pasokan logam tanah jarang atau Elemen Bumi Jarang.

Logam tanah jarang adalah kelompok logam yang tidak umum ditemukan dalam jumlah besar di kerak bumi dan memiliki nilai strategis tinggi karena sifat fisik dan kimianya yang unik. Logam ini banyak digunakan dalam teknologi canggih, elektronik, dan kendaraan listrik.

Melansir CNN, Badan Energi Internasional (Badan Energi Internasional) mencatat China menyumbang 61 persen dari produksi tambang logam tanah jarang global.

Saat ini, perang dagang Trump ke Cina, Xi Jinping telah membuat darat jarang menjadi senjata.

Pada 4 April lalu, pemerintah China menetapkan pembatasan ekspor terhadap tujuh jenis logam tanah jarang sebagai balasan atas serangan dagang yang diberlakukan Trump terhadap barang-barang China.

Saat ini, dampak dari kontrol ekspor Beijing sudah terasa langsung di lapangan. Konsultan magnetik dan logam JOC, John Ormerod, mengatakan bahwa pengiriman magnet tanah jarang milik setidaknya lima perusahaan Amerika dan Eropa telah dihentikan di China sejak diberlakukannya aturan ketat tersebut.

Jika berlanjut, siapa yang akan terus memenangkan perang dagang antara AS dan Cina? Apakah masih ada peluang kedua negara untuk berdialog?

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan tidak ada pihak yang benar-benar menang dalam perang dagang antara AS dan China.

Pasalnya, kedua negara terjebak dalam permainan Game berulang yang tidak kooperatif yang menghasilkan kerugian kolektif akibat pilihan strategi saling menjatuhkan.

AS, sambungnya, mungkin tampak unggul sementara dengan menerapkan tarif tinggi. Tetapi strategi ini justru memicu balasan seimbang dari China.

Jika kedua negara terus mempertahankan pendekatan konfrontatif tanpa inisiatif kompromi, maka hasilnya akan berupa kerugian bersama. Di sisi lain, perang dagang justru mendorong munculnya peluang bagi negara lain untuk mengisi celah pasar dan memperkuat posisi global mereka.

Dalam situasi seperti ini, sambungnya, pihak yang berani mengambil langkah lebih dulu untuk meredakan konflik dan membangun kembali kepercayaan akan memiliki keunggulan strategis.

“Kemenangan sejati dalam permainan ini tidak terletak pada siapa yang mengenakan tarif tertinggi, tetapi pada siapa yang mampu menciptakan hasil optimal melalui kerja sama yang menghasilkan nilai tambah global secara berkelanjutan,” kata Syafruddin kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/4).

AS dan China, sambungnya, sama-sama memiliki kekuatan strategis yang besar, tetapi dengan karakteristik yang sangat berbeda. Negeri Paman Sam memimpin dalam sistem keuangan global melalui dominasi dolar sebagai mata uang internasional, kekuatan Wall Street, dan keunggulan teknologi dari perusahaan-perusahaan raksasa seperti Apple dan Microsoft.

Selain itu, kapasitas konsumsi domestiknya yang sangat besar memberi daya tarik tersendiri bagi eksportir global.

Sedangkan, China mengandalkan kekuatan manufaktur yang menguasai rantai pasok dunia. China juga memiliki cadangan devisa raksasa yang memberi pengaruh dalam pasar obligasi global.

Ekspansi China melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan yang memperluas jejak ekonominya di Asia, Afrika, dan Eropa juga menjadi kekuatan Negeri Tirai Bambu tersebut.

Tak hanya itu, pasar domestiknya yang terus berkembang menciptakan peluang bagi pertumbuhan konsumsi jangka panjang.

“Dominasinya dalam ekspor logam tanah jarang juga menjadikan China pemain penting dalam industri teknologi global,” katanya.

Karena itu, Syafruddin melihat persaingan China dan AS bukan hanya tentang tarif dan angka ekspor, tetapi tentang pengaruh struktural yang membentuk ulang tatanan ekonomi global.

Ia melanjutkan bahwa peluang dialog antara AS dan China sebenarnya tetap terbuka meskipun eskalasi perang tarif terus memburuk, karena kedua negara pada dasarnya saling bergantung dalam rantai pasok global.

Ketika tekanan mulai dirasakan oleh sektor industri, konsumen, dan pelaku pasar keuangan, elite politik di Washington maupun Beijing kemungkinan akan mencari jalan keluar diplomatik untuk meredakan ketegangan.

Selain itu, sambungnya, forum-forum internasional seperti G20 atau APEC masih menyediakan ruang strategis bagi dialog bilateral, baik secara langsung maupun melalui mediasi pihak ketiga.

Ia mencontohkan kesepakatan “Phase One Deal” yang berhasil dicapai AS dan China pada 2020 lalu. Kesepakatan itu bagian dari upaya meredakan perang dagang antara kedua negara yang telah berlangsung sejak 2018.

“Dalam geopolitik, konflik tajam sering kali membuka celah untuk kompromi strategis, asal kedua pihak menyadari bahwa kerugian jangka panjang lebih besar daripada keuntungan politis sesaat,” katanya.

Jika perang dagang AS dan China terus berkecamuk dalam jangka panjang, sambungnya,maka akan menimbulkan dampak serius bagi negara lain, termasuk Indonesia.

Pasalnya ketegangan ini melemahkan permintaan global, menurunkan harga komoditas ekspor utama, dan mempersempit pasar luar negeri yang selama ini menopang pertumbuhan RI.

Rantai pasok internasional juga akan terganggu, sehingga sektor manufaktur dalam negeri bisa mengalami tekanan akibat kenaikan biaya produksi serta keterlambatan bahan baku.

“Tekanan tersebut akan melemahkan nilai tukar rupiah, meningkatkan volatilitas pasar, dan memicu arus keluar modal dari pasar keuangan domestik,” katanya.

Pemerintah, sambungnya, juga akan menghadapi tekanan fiskal karena pendapatan negara menyusut sementara kebutuhan belanja meningkat untuk menjaga konsumsi dan mencegah kontraksi.

Dalam situasi seperti ini, ia menyarankan pemerintah segera memperkuat daya tahan ekonomi domestik, memperluas pasar ekspor non-tradisional, dan menjalankan diplomasi ekonomi yang agresif agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam konflik global ini, tetapi mampu membangun posisi strategis sebagai penyeimbang baru dalam peta ekonomi dunia.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *