Komisi II DPR Sebut Pileg Nasional-Daerah Dipisah Butuh Aturan Transisi



Jakarta

Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memisahkan pileg nasional dan pileg daerah. Rifqinizamy mengatakan putusan itu akan menjadi fokus utama Komisi II dalam melakukan revisi UU Pemilu.

“Kami memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi salah satu kekhawatiran bagi Komisi II DPR RI dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi, terutama sekali lagi dalam politik hukum nasional yang menjadi kewenangan konstitusional kami,” kata Rifqinizamy kepada wartawan, Kamis (26/6/2025).

Meski begitu, Rifqinizamy menghormati putusan MK tersebut. Dia memastikan putusan itu akan turut dibahas dalam revisi UU Pemilu.

Gulir untuk melanjutkan konten

“Kami menghargai putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan adanya pendapat hukum, dari Mahkamah Konstitusi untuk menghadirkan pemilu nasional dan pemilu lokal,” ujarnya.

“Dan hal tersebut tentu akan menjadi bagian penting untuk kami menyusun revisi Undang-Undang Pemilu yang akan datang,” sambungnya.

Rifqinizamy mengatakan pihaknya akan melakukan latihan. Terutama, kata dia, terkait formula yang paling tepat dalam proses pemilu nasional dan lokal.

Rifqinizamy mengatakan sejumlah hal harus dikaji lebih dalam mengenai pelaksanaan pemilu nasional dan daerah yang digelar terpisah. Sebab, kata dia, jika pemilu nasional dan daerah digelar terpisah, diperlukan aturan transisi.

“Jeda waktu 2029-2031 untuk DPRD, provinsi, kabupaten/kota, termasuk untuk jabatan gubernur, bupati, wali kota, itu kan harus ada norma transisi,” ujarnya.

“Kalau bagi penjabat gubernur, bupati, wali kota, kita bisa tunjuk penjabat seperti yang kemarin, tetapi untuk anggota DPRD satu-satunya cara adalah dengan cara kita memperpanjang masa jabatan,” sambung dia.

Dia pun menilai perlu rumusan yang matang dalam melakukan revisi UU Pemilu. Rifqinizamy mengatakan saat ini pihaknya akan menunggu arahan dari pimpinan DPR RI terlebih dulu.

“Hal-hal inilah yang nanti akan menjadi dinamika dalam perumusan rancangan Undang-Undang Pemilu, yang tentu kami masih menunggu arahan dan keputusan pimpinan DPR untuk diberikan kepada Komisi II DPR RI,” tuturnya.

Sebelumnya, MK memutuskan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah atau lokal. MK mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah.

“Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, ‘Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden’,” ujar Ketua MK Suhartoyo mengucapkan Amar Putusan, Kamis (26/6).

(AMW/RFS)


Hoegeng Awards 2025


Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *